Sudiarsu-Kenangan Menggelikan (part I)



Banyak hal yang mesti diperhatikan dalam menjalani setiap perumpamaan hidup yang beriringan dengan mimpi-mimpi. Perjalanan yang mengharuskan bahagia dan gelora nestapa berkecamuk menjadi satu perumpamaan hidup semanis mimpi-mimpi berpelukan dengan angan-angan dan lamunan. Semuanya mengisyaratkan bagaimana cara berprilaku dalam semua tindakan tanpa ada rasa pahit dan senyum palsu maupun pilu.
Kita mesti tahu, ada orang yang melepas ego-nya untuk kebahagiaan orang yang disayanginya dan ada pula orang yang rela melepas orang menyayanginya hanya untuk ego-nya. Dan kita tidak meinginkan bahagia hanya dalam lamunan  yang hanya memberi ilusi dan janji tanpa bukti. Dan ada orang mempunyai trik tersendiri dalam mencapai mimpi bahagianya. Trik tersebut ada meminta permulaan yang kecil tapi perlu menguras tenaga besar.
Seperti mereka. Di tengah lambaian hujan yang agak malu meneteskan air untuk menusuk para kulit. Angin malam  yang semilir di tengah hujan juga membujuk para kulit untuk meronta minta diselimuti. Dua pemuda yang sedang menjemput mimpi-mimpi. Mereka mengangkat balok kayu untuk uang saku mereka yang nominalnya tidak seberapa. Tidak ringan memang. Tapi mereka harus melakukannya. Meski lulai, tapi mereka terlihat senyum-senyum menggelitik. Mengisyaratkan bahwa ada pengalaman menarik yang mereka temui.
Aziz dan Abi. Mereka sudah satu tahun kenal dan akrab. Satu kos, dan satu kabupaten, Kabupaten Padang Pariaman. Tapi beda kecamatan dan beda perguruaan tinggi. Mereka saling membantu. Terutama kucing-kucingan dari pemilik kos tempat meraka tinggal. Tapi tidak meraka saja, semua pemukim kos tersebut juga sering kucing-kucingan. Tidak hanya penduduk kos nunggak saja yang mereka sembunyikan, tapi juga pendatang gelap. Asalkan pendatang tersebut kenalan dan benar-benar orang yang memerlukan perlindungan, dan yang pasti karena kasihan.
Dari tempat mereka bakuah dengan keringat, masih terdengar suara nyanyian katak bergenre kegembiraan melenyapkan suara jangkrik yang beriring dengan rintikan hujan. Keringat bercampur air hujan masih bernyanyi di sekujur tubuh meraka. Tapi setipis senyum masih bergelantungan di bibir mereka dan diselingi dengan gelengan kepala. Seakan angkuh dengan apa yang mereka kerjakan.
“Si Dul!!  Menurut si Dul ke mana perginya pasangan tadi?” Abi memecah suasana di antara mereka berdua.
 “Entahlah si Dul! Yang pasti mereka sekarang sudah panas, sedangkan kita masih dingin.” 
Senyuman sedari tadi ternyata dipicu oleh sebuah kenangan jijik yang menggelikan. Betapa tidak. Di perjalan menuju tempat mereka bekerja tepatnya di jalan Tunggul Hitam, Padang. Motor mereka didahului oleh laju motor yang melolong dari belakang. Lolongan motor tersebut seolah-olah menyoraki orang sekelilingnya seakan memberi tahu bahwa dia akan berpesta di malam buta dengan bulan bersemedi di balik awan gelap.
Sebelumnya Aziz dan Abi berpapasan dengan pasangan-pasangan muda-mudi berboncengan, padahal jam pergantian hari sudah lewat satu jam yang lalu. Pasangan itu laju pada dekapan, tapi lambat pada laju kendaraan. Aziz dan Abi memang cemburu dengan pasangan tersebut, tapi tak iri dengan apa yang pasangan itu lakukan.
 Dari belakang terdengar lolongan motor meronta-meronta minta ampun, tapi si pengendara tetap saja mengenjot tarikan motor tersebut. Tampak jelas, ada seorang perempuan yang dibonceng pemuda. Baju mini nan ketat. Rok 20 Cm. Duduk ngangkang. Herannya, apa perempuan itu tidak kedinginan dengan pakaian dalam adiknya tersebut? sedangkan laki-laki pembawa motor itu memakai pakaian lengkap plus jeket yang tebal. Lalu dimanakah letak kasih sayang dan kepeduliannya terhadap perempuan? Atau mungkin pikiran si laki-laki untuk apa si perempuan pakai pakaian yang tebal-tebal, toh dia sebentar lagi hangat. Dan tambah lagi, mungkin dalam pikiran si pemuda “untuk apa dipinjamkan jeket ku ini, toh dia hanya sebentar”. Atau si perempuan sudah terbiasa. Untung saja suasana disana sedikit gelap, kalau tidak tentu akan terlihat bekas-bekas berukuran uang receh dikulit perempuan tersebut dan bermacam pernak-pernik lainnya.
***
Lebatnya hujan mulai mengguyur lagi. Para bos mulai memerintahkan mereka berdua berhenti sampai hujan reda.
“Hei kalian!! berhenti dulu. Hujan mulai lebat, kalau terjadi apa-apa  saya tidak bisa membawa kalian ke rumah sakit” ucap bos yang bernama Aris.
 “Hahaha....ya karena Aris tidak mendaftarkan kalian ke BPJS” sambung Bang Uncle Black sang sopir truk yang telah membawa kayu dari Sijunjung sebanyak sepuluh Kubik.
Para bos sedari tadi masih berbincang berdua, sedangkan Adi dan Abdul masih sibuk tersenyum dan ngobrol tentang pengalaman menggelitik. Kali ini Abdul bercerita tentang pengalamannya sewaktu dia berkeliling kota Padang bersama teman satu kamarnya. Gapi. Mereka keliling Kota Padang sambil mencari toko yang menjual Flipcover untuk handphone Gapi. Sewaktu itu jam masih menunjukkan pukul 20:36 WIB.
Malam belum begitu larut. Tetapi gelapnya malam kota masih ditemani kilauan bulan walau hanya ditemani secibir senyum malunya. Mereka berhenti di depan Taman Melati, sambil melihat-lihat di sekitar taman pada malam hari. Dan yang pasti dalam pikiran Abdul datang ke situ ialah untuk membuktikan sebuah rumor. Geli tapi.
Tidak berapa lama mobil Avanza hitam melesat dari belakang menghampiri mereka berdua.  Semua jendela kaca mobil dibuka. Langsung terpampang layangan senyum manis menggoda dari para si manis. Walau dalam mobil hanya ditemani secuil cahaya lampu, tapi si paha mulus telah menaik-turunkan jakun Gapi. “Cewek Da?” kata yang diucapkan oleh sopir itu seolah menampar dan menghentikan detak jantung mereka berdua selama dua detik.  Belum sempat mereka menjawab lambaian kata menggoda, tangan Abi telah lebih dahulu mencengkram melajukan kendaraan. Tinggallah hayalan Gapi bersama senyum para si manis yang kini kecewa karena pahit. Karena mangsa mereka masih bujang  dan mereka anggap mereka pergi karena masih bujang dan kere akan uang, pengetahuan tentang tata sebuah kota, dan apalagi ….

Banyak hal yang mesti diperhatikan dalam menjalani setiap perumpamaan hidup yang beriringan dengan mimpi-mimpi. Perjalanan yang mengharuskan bahagia dan gelora nestapa berkecamuk menjadi satu perumpamaan hidup semanis mimpi-mimpi berpelukan dengan angan-angan dan lamunan. Semuanya mengisyaratkan bagaimana cara berprilaku dalam semua tindakan tanpa ada rasa pahit dan senyum palsu maupun pilu.
Kita mesti tahu, ada orang yang melepas ego-nya untuk kebahagiaan orang yang disayanginya dan ada pula orang yang rela melepas orang menyayanginya hanya untuk ego-nya. Dan kita tidak meinginkan bahagia hanya dalam lamunan  yang hanya memberi ilusi dan janji tanpa bukti. Dan ada orang mempunyai trik tersendiri dalam mencapai mimpi bahagianya. Trik tersebut ada meminta permulaan yang kecil tapi perlu menguras tenaga besar.
Seperti mereka. Di tengah lambaian hujan yang agak malu meneteskan air untuk menusuk para kulit. Angin malam  yang semilir di tengah hujan juga membujuk para kulit untuk meronta minta diselimuti. Dua pemuda yang sedang menjemput mimpi-mimpi. Mereka mengangkat balok kayu untuk uang saku mereka yang nominalnya tidak seberapa. Tidak ringan memang. Tapi mereka harus melakukannya. Meski lulai, tapi mereka terlihat senyum-senyum menggelitik. Mengisyaratkan bahwa ada pengalaman menarik yang mereka temui.
Aziz dan Abi. Mereka sudah satu tahun kenal dan akrab. Satu kos, dan satu kabupaten, Kabupaten Padang Pariaman. Tapi beda kecamatan dan beda perguruaan tinggi. Mereka saling membantu. Terutama kucing-kucingan dari pemilik kos tempat meraka tinggal. Tapi tidak meraka saja, semua pemukim kos tersebut juga sering kucing-kucingan. Tidak hanya penduduk kos nunggak saja yang mereka sembunyikan, tapi juga pendatang gelap. Asalkan pendatang tersebut kenalan dan benar-benar orang yang memerlukan perlindungan, dan yang pasti karena kasihan.
Dari tempat mereka bakuah dengan keringat, masih terdengar suara nyanyian katak bergenre kegembiraan melenyapkan suara jangkrik yang beriring dengan rintikan hujan. Keringat bercampur air hujan masih bernyanyi di sekujur tubuh meraka. Tapi setipis senyum masih bergelantungan di bibir mereka dan diselingi dengan gelengan kepala. Seakan angkuh dengan apa yang mereka kerjakan.
“Si Dul!!  Menurut si Dul ke mana perginya pasangan tadi?” Abi memecah suasana di antara mereka berdua.
 “Entahlah si Dul! Yang pasti mereka sekarang sudah panas, sedangkan kita masih dingin.” 
Senyuman sedari tadi ternyata dipicu oleh sebuah kenangan jijik yang menggelikan. Betapa tidak. Di perjalan menuju tempat mereka bekerja tepatnya di jalan Tunggul Hitam, Padang. Motor mereka didahului oleh laju motor yang melolong dari belakang. Lolongan motor tersebut seolah-olah menyoraki orang sekelilingnya seakan memberi tahu bahwa dia akan berpesta di malam buta dengan bulan bersemedi di balik awan gelap.
Sebelumnya Aziz dan Abi berpapasan dengan pasangan-pasangan muda-mudi berboncengan, padahal jam pergantian hari sudah lewat satu jam yang lalu. Pasangan itu laju pada dekapan, tapi lambat pada laju kendaraan. Aziz dan Abi memang cemburu dengan pasangan tersebut, tapi tak iri dengan apa yang pasangan itu lakukan.
 Dari belakang terdengar lolongan motor meronta-meronta minta ampun, tapi si pengendara tetap saja mengenjot tarikan motor tersebut. Tampak jelas, ada seorang perempuan yang dibonceng pemuda. Baju mini nan ketat. Rok 20 Cm. Duduk ngangkang. Herannya, apa perempuan itu tidak kedinginan dengan pakaian dalam adiknya tersebut? sedangkan laki-laki pembawa motor itu memakai pakaian lengkap plus jeket yang tebal. Lalu dimanakah letak kasih sayang dan kepeduliannya terhadap perempuan? Atau mungkin pikiran si laki-laki untuk apa si perempuan pakai pakaian yang tebal-tebal, toh dia sebentar lagi hangat. Dan tambah lagi, mungkin dalam pikiran si pemuda “untuk apa dipinjamkan jeket ku ini, toh dia hanya sebentar”. Atau si perempuan sudah terbiasa. Untung saja suasana disana sedikit gelap, kalau tidak tentu akan terlihat bekas-bekas berukuran uang receh dikulit perempuan tersebut dan bermacam pernak-pernik lainnya.
***
Lebatnya hujan mulai mengguyur lagi. Para bos mulai memerintahkan mereka berdua berhenti sampai hujan reda.
“Hei kalian!! berhenti dulu. Hujan mulai lebat, kalau terjadi apa-apa  saya tidak bisa membawa kalian ke rumah sakit” ucap bos yang bernama Aris.
 “Hahaha....ya karena Aris tidak mendaftarkan kalian ke BPJS” sambung Bang Uncle Black sang sopir truk yang telah membawa kayu dari Sijunjung sebanyak sepuluh Kubik.
Para bos sedari tadi masih berbincang berdua, sedangkan Adi dan Abdul masih sibuk tersenyum dan ngobrol tentang pengalaman menggelitik. Kali ini Abdul bercerita tentang pengalamannya sewaktu dia berkeliling kota Padang bersama teman satu kamarnya. Gapi. Mereka keliling Kota Padang sambil mencari toko yang menjual Flipcover untuk handphone Gapi. Sewaktu itu jam masih menunjukkan pukul 20:36 WIB.
Malam belum begitu larut. Tetapi gelapnya malam kota masih ditemani kilauan bulan walau hanya ditemani secibir senyum malunya. Mereka berhenti di depan Taman Melati, sambil melihat-lihat di sekitar taman pada malam hari. Dan yang pasti dalam pikiran Abdul datang ke situ ialah untuk membuktikan sebuah rumor. Geli tapi.
Tidak berapa lama mobil Avanza hitam melesat dari belakang menghampiri mereka berdua.  Semua jendela kaca mobil dibuka. Langsung terpampang layangan senyum manis menggoda dari para si manis. Walau dalam mobil hanya ditemani secuil cahaya lampu, tapi si paha mulus telah menaik-turunkan jakun Gapi. “Cewek Da?” kata yang diucapkan oleh sopir itu seolah menampar dan menghentikan detak jantung mereka berdua selama dua detik.  Belum sempat mereka menjawab lambaian kata menggoda, tangan Abi telah lebih dahulu mencengkram melajukan kendaraan. Tinggallah hayalan Gapi bersama senyum para si manis yang kini kecewa karena pahit. Karena mangsa mereka masih bujang  dan mereka anggap mereka pergi karena masih bujang dan kere akan uang, pengetahuan tentang tata sebuah kota, dan apalagi ….

*** 
Bersambung....