A.
Kaba minangkabau
1. Pengertian
kaba
Kaba adalah sejenis sastra pelipur lara.
Biasanya kaba berisi kisah-kisah yang bersifat menghibur dan memberi
nasihat. Sastra tradisi lisan ini bercerita tentang peristiwa yang menyedihkan,
perantauan, dan penderitaan dari tokoh utama yang kemudian berakhir bahagia (happy
end). Alur cerita dibuat tidak terlalu rumit dan lebih sering berupa alur
maju (Edward Jamaris, 2002: 78). Pada dasarnya karya sastra Minang yang
berpretensi prosa bisa disebut kaba. Syaratnya, cerita tersebut bersifat
tragedi-komedi dengan unsur merantau sebagai “ramuan” yang harus ada di
dalam cerita. Ada kemungkinan pula, dengan memenuhi persyaratan tadi, kaba
dapat mengangkat kisah hidup seseorang sebagai cerita. (Suryadi, ed., 1993: 3).
Sebagai
sebuah sastra lisan, kaba disebarkan ke masyarakat luas melalui berbagai
pertunjukan. Pertunjukan inilah yang disebut bakaba. Dalam pertunjukan
itu seorang tukang kaba menyampaikan kisah-kisah kaba dalam
bentuk nyanyian atau dendang dengan iringan alat musik tradisional dan
diselingi dengan nyanyian.
Dalam
kaitannya dengan penampilan cerita, tukang kaba dibagi menjadi dua,
yaitu tukang kaba dan pencipta kaba. Tukang kaba adalah
orang yang mendendangkan kaba. Ia bisa merupakan penulis kaba
tersebut, bisa juga bukan. Sedangkan penulis kaba adalah orang yang
menyampaikan kaba secara tertulis. (Syamsuddin Udin dan Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, 1987: 16). Kata “tukang” adalah istilah masyarakat
Minang yang dalam kaitannya dengan sastra lisan. Kata ini mengandung makna
“profesionalisme”, misalnya tukang rabab (ragam rabab Pesisir dan
rabab Pariaman), tukang selawat (ragam selawat dulang), dan
lain-lain (Suryadi, ed., 1993:4).
Bakaba
mempunyai
banyak ragam antara daerah satu dengan yang lain. Hal tersebut menjadi keunikan
dan kekayaan dalam pementasan kaba. Klasifikasi dan penamaan pementasan bakaba
didasarkan pada alat musik pengiring yang digunakan dan judul cerita yang
dibawakan. Misalnya, jika alat yang digunakan adalah rabab maka
pementasannya dinamakan barabab (berebab). Beberapa contoh ragam bakaba
menurut alat musik pengiring, daerah berkembangnya, dan nama kaba di
antaranya:
a. Sijabang—Suryadi (1993:3), menulis sijobang—merupakan
pertunjukan kaba Nan Tongga Magek Jabang dengan iringan musik
kecapi. Ini merupakan ragam sastra lisan daerah Payakumbuh dan sekitarnya serta
Kabupaten Lima Puluh Kota. Pertunjukan bakaba ini hanya mengisahkan satu
kaba saja.
b. Basimalin, juga berasal dari daerah Payakumbuh,
tepatnya di daerah Tarantang Harau. Basimalin merupakan pertunjukan Kaba
Malin Deman. Sama halnya dengan Sijabang, pertunjukan Basimalin merupakan
bakaba yang mengisahkan hanya satu kaba.
c. Baikayaik dan Rebab Pariaman merupakan
bakaba di daerah Kabupaten Padang Pariaman.
d. Rebab Pesisir Selatan merupakan pertunjukan kaba di
daerah Kabupaten Pesisir Selatan. Pertunjukan ini menggunakan rabab sebagai
musik pengiring. Salah satu contohnya adalah Rebab Pesisir Selatan Malin
Kundang.
e. Dendang Pauah, merupakan ragam bakaba
daerah Pauah dan sekitarnya, yang merupakan kawasan pinggiran sebelah timur
Kota Padang. Dendang Pauah menggunakan alat musik saluang untuk
mengiringi pertunjukan (Edwar Jamaris, 2002: 127) dan (Suryadi, ed., 1993: 3).
Bakaba lazimnya digelar malam hari. Cerita
yang disampaikan oleh tukang kaba diselesaikan pada malam itu juga.
Kalau cerita tidak selesai dalam satu malam, maka dilanjutkan malam berikutnya.
Namun, bila kondisinya tidak memungkinkan untuk menggelar pertunjukan selama
dua malam, tukang kaba akan mengambil bagian-bagian yang menarik untuk
diselesaikan dalam satu malam.
Pertunjukan tradisi lisan ini acap
kali digelar pada acara-acara tertentu, misalnya acara pernikahan, acara adat,
maupun pesta keramaian desa. Pertunjukan digelar di luar ruangan menggunakan
panggung atau hanya di tanah lapang. Seorang tukang kaba kadang tidak
sendiri dalam mementaskan kaba, ia ditemani satu atau dua orang yang
akan memainkan musik pengiring. Tukang kaba bisa juga menggelar
pertunjukan sendirian, ia akan mendendangkan kaba dan memainkan musik
sendiri. Hal tersebut bisa dilihat pada pertunjukan Rebab Pesisir Selatan.
B. Unsur-unsur
Bakaba
Ada
beberapa unsur penting yang harus ada dalam pertunjukan bakaba
(Syamsuddin Udin, ed., 1996:9). Unsur-unsur tersebut yaitu: tukang kaba, kaba dan musik
pengiring.
1. Tukang Kaba
Tukang
kaba adalah orang yang mendendangkan cerita-cerita kaba. Ia boleh
menyampaikan cerita yang sebelumnya telah ada di masyarakat, atau menciptakan
sendiri cerita yang baru. Kemampuan untuk mencipta cerita yang baru inilah yang
menjadi salah satu kelebihan tukang kaba. Cerita-cerita baru yang
diciptakan oleh tukang kaba dimaksudkan untuk merespon perkembangan
zaman dan supaya para penonton tidak bosan.
Berdasarkan
kemampuan menyampaikan cerita dan menciptakan cerita, terdapat beberapa
tingkatan tukang kaba (Syamsuddin Udin, ed., 1993:10). Tingkatan dalam
tukang kaba dijelaskan sebagai berikut:
a. Tukang kaba yang berkaba dengan
akal pengalaman.
Tukang
kaba pada tingkat ini galibnya masih pemula. Ia akan mendendangkan kisah
kaba sesuai dengan semua yang ia ketahui. Kaba yang disampaikan
tukang kaba ini dapat dimengerti alurnya, tetapi tidak meninggalkan
kesan mendalam bagi penonton.
b. Tukang kaba yang berkaba
dengan akal zahir.
Tukang
kaba di tingkat yang kedua ini lebih baik daripada tukang kaba
yang disebutkan sebelumnya. Ia akan mendalami terlebih dahulu cerita yang ingin
ia dendangkan. Setelah ia dapat menghayati cerita tersebut, baru ia
menggelar pertunjukannya. Cerita yang disampaikan tukang kaba ini dapat
ditangkap oleh khalayak dan meninggalkan kesan di hati mereka. Tetapi, tukang kaba
ini sering kehilangan alur cerita.
c. Tukang kaba yang berkaba
dengan akal batin disertai doa.
Tingkatan
ketiga ini adalah tukang kaba yang telah menguasai ilmu bakaba.
Dalam pertunjukan ia akan bercerita dengan penghayatan penuh disertai kekuatan
batin. Ilmu kebatinan itulah yang akan memimpinnya selama pertunjukan
berlangsung. Cerita yang ia sampaikan akan diterima dengan jelas dan
meninggalkan kesan yang dalam bagi para pendengar.
2. Kaba /Cerita
Ada banyak
kaba yang berkembang dan dianilisis. Berikut contoh kaba yang diteliti oleh
Syamsudin Udin, dkk (1987) yaitu: Intan Pangiriang, Bacindai Aluih, Jumbang
Muhamad, Anggun Nan Tongga, Untung Sudah, Rancak Di Labuah, Urang Silaiang,
Bujang Pajudi, Puti Jailan, Sabai Nan
Aluih, Puti Sari Banilai, Si Umbuik Mudo, Gadih Basanai, Siti Baheram, Siti
Mariam, dan Cindue Mato.
3. Musik Pengiring Dendang Kaba
Bunyi
gesekan rabab, (gesekan biola), ataupun tiupan saluang
merupakan musik pengiring berfungsi untuk memperkuat suasana kisah yang
disampaikan.
Terdapat
beberapa alat musik tradisional Minangkabau yang digunakan untuk mengiringi
pertunjukan kaba sebagaimana disebutkan di atas. Di sini akan dijelaskan
dua contoh dari alat musik tradisional pengiring pertunjukan kaba. Dua
alat musik tersebut adalah rabab (Syamsuddin Udin, ed., 1993) dan saluang
(Suryadi, ed., 1993).
a. Rabab
Rabab merupakan alat musik gesek yang
berasal dari Minangkabau. Peralatan ini biasanya dimainkan pada malam hari
untuk mencapai rasa gundah pada diri pemainnya. Sebagai pengiring kaba,
peralatan musik ini dapat menciptakan suasana sedih yang mendalam. Alunan suara
rabab, meskipun cerita yang disampaikan berada dalam suasana gembira,
akan selalu mengesankan kesedihan bagi mereka yang belum paham karakter
peralatan ini. Rabab mempunyai beberapa bagian, yaitu:
1) Badan Rabab.
Badan rabab terbuat dari
tempurung kelapa yang besar dan tua yang dipotong memanjang. Untuk membuat
badan rabab, diambil setengah bagian tempurung yang berkulit tebal.
Bagian punggung diberi lubang dengan diameter 1-2 cm agar terdengar lebih
nyaring. Bagian yang berongga dan terbuka dari tempurung tersebut ditutup
dengan kulit sapi.
2) Tangkai Rabab
Tangkai rabab terbuat dari
bambu dan dipasang pada ujung tempurung. Di sepanjang tangkai dipasang senar
sebanyak tiga buah yang terentang mulai dari pangkal hingga ke ujung hingga ke
pangkal tangkai.
3) Batang Penggesek
Batang penggesek terbuat dari rotan.
Di bagian pangkal batang penggesek terdapat pegangan. Pada batang penggesek
dipasang tali dari ekor kuda yang terentang dari pangkal hingga ujung batang
penggesek.
b.
Saluang
Saluang merupakan alat musik khas Minangkabau.
Ini adalah jenis alat musik lain yang salah satu fungsinya adalah untuk
mengiringi bakaba. Cara memainkan alat musik ini adalah dengan ditiup. Saluang
terbuat dari bambu yang dalam bahasa Minangkabau disebut talang. Dalam
kepercayaan orang Minang, bambu yang baik untuk membuat saluang adalah
bambu untuk jemuran atau bambu yang ditemukan hanyut di sungai.
Saluang
berbeda
dengan seruling meskipun bahan bakunya sama dan bentuknya mirip. Perbedaan
tersebut terletak pada cara memainkan alat musik ini. Saluang ditiup
pada bagian penampangnya. Salah satu penampangnya diletakkan di bibir pemain,
sedangkan bagian ujung yang lain berada di bawah. Sedangkan seruling dimainkan
dengan meniup lubang yang berada di ujung dan membuka dan menutup lubang yang
berjajar di batang seruling dengan jari. Pada saat dimainkan posisi seruling
adalah mendatar.
c. Dulang
Kaba juga
disampaikan dengan dulang dan dinamakan kesenian selawat dulang. Salawat dulang merupakan
kesenian Minangkabau yang menggunakan dulang (piring jamba besaratau nampan)
sebagai alat musiknya dengan cara dipukul sambil berdendang menyampaikan
larik. Ada menyebut selawat dulang dengan salawek talam. Irama
ketukan pukulan di nampan kuningan berdiameter 65 cm itu diiringi dengan
hakikat insan dan 20 sifat Allah sebagai lariknya. Penonton juga disuguhi
lantunan ayat Al Quran beserta penjelasannya. Lazimnya, dua hingga tiga pasang
pedendang duduk membentuk garis sudut atau sandiang dalam setiap pertunjukan.
Mereka berdendang bersamaan dan saling menyambung larik. Dalam larik itu,
ajaran agama menjadi rukun yang harus dipenuhi.
Buyung Ase, pedendang grup
Bintang Harapan asal Kelurahan Aiapacah menceritakan pada Padang Ekspres,
salawat dulang awalnya dimainkan masyarakat Aceh. Seiring dengan kedatangan
Syekh Burhanuddin bersama rombongan ke bumi Pariaman, salawat dulang perlahan
diminati masyarakat setempat.
“Di Aceh, kesenian ini tidak
diiringi oleh dulang. Mereka bersalawat dihiasi dengan alat musik tradisional
mereka juga. Barulah sesampai di Minangkabau, salawatnya didendangkan dan
diiringi dulang. Jadilah dia salawat dulang. Tapi ada juga yang memainkan dengan
alat pengiring lain. Berkembang, berkembang dan terus berkembang, akhirnya sampailah
ke darek, Tanahdatar,” paparnya. (Padang Ekspres • Sabtu, 11/05/2013)
Cara
memainkan peralatan ini adalah pemain rabab akan duduk bersila. Rabab
berada di depan pemain rabab di antara kedua betisnya dengan posisi
miring ke kiri. Kemudian pemain akan menggesek senar-senar tersebut dari kanan
ke kiri dan sebaliknya. Pemain rabab hanya menggesek dua senar, sedang
dua senar yang lain sesekali dijentik.
Pada
perkembangan selanjutnya alat musik gesek sebagai pengiring bakaba
mengalami perubahan. Peralatan musik modern tak ayal turut berperan dalam
pertunjukan kaba. Sejak tahun 1920-an biola mulai menggeser atau bahkan
melengkapi rabab sebagai alat musik pengiring bakaba. Sehingga,
pertunjukan kaba mulai menggunakan biola. Pembuat biola tersebut dulunya
juga merupakan pembuat rabab. Perubahan alat musik yang digunakan ini
menambah lengkap peralatan yang digunakan untuk mengiringi bakaba.
Faktor yang
mempengaruhi pertunjukan kaba adalah penonton. Khalayak ramai yang
menyambut bakaba dengan antusias berarti membantu kelancaran
pertunjukan. Sebaliknya, penonton yang ribut dan kacau dapat mengacaukan
pertunjukan karena tukang kaba kehilangan konsentrasi. Begitu pula, bila
khalayak cuma diam tanpa memberikan reaksi, pertunjukan akan berjalan begitu
saja dan suasana pertunjukan menjadi tidak hidup. Oleh sebab itu diperlukan seseorang yang
bertugas membantu menghidupkan suasana dan memeriahkan jalannya pertunjukan. Sipatuang
Sirah merupakan orang yang mendapat tugas tersebut. Ia adalah orang yang
mengetahui alur cerita dan bersedia mereaksi cerita. Dalam suasana
tertentu, Sipatuang Sirah akan mereaksi pertunjukan melalui teriakan
yang ia tujukan pada cerita atau pencerita.
C. Unsur Instrinsik
dan Ekstrinsik Kaba
Sebagai sebuah karya sastra,
meskipun karya itu adalah sastra lisan, biasanya mengandung pesan-pesan
tertentu di dalam karya tersebut. Begitu pula dengan kaba. Secara
intrinsik kaba mempunyai banyak pesan atau nasihat serta ibarat. Berikut unsur
intrinsik pada kaba Intan
Pangiriang dan Si Umbuik Mudo berdasarkan hasil analisis Syamsudin Udin, dkk (1987).
1. Intan
Pangiriang
Kaba
ini mengisahkan tiga bersaudara yang tinggal di negeri Ulak Karang di derah
Minangkabau. Yang tua bernama Intan Pangiriang, yang tengah Buyung Pakua, dan
si bungsu Raniak Jintan. Ayah mereka Tuanku Rajo Tuo yang merupakan penguasa di
daerah itu. Intan Pangiriang dan Buyung Pakua di Tuanku usir oleh ayahnya Rajo
Tuo berdasarkan ahli nujum mimpi kepercayaan ayahnya.
Sementara
di nagari Taluk Haru yang dipimpin
oleh seorang raja sedang mencari pengantinya. Sehingga diutuslah Gajah Putih
untuk mencari penggantinya. Akhirnya Gajah Putih menemukan Intan
Panggirian. Tidak beberapa lama, Intan
Panggirian dinobatkan sebagai raja dengan gelar Wasir Sultan Rajo Basa.
Buyung
Pakua terpisah dari Intan Pangiriang, difitnah mencuri dan akan dihukum
mati. Namun, tidak jadi karena Intan
Pangiriang berhasil menemukan Buyung Pakua sebelum dihukum. Sedangkan yang
memfitnahnya dulu dihukum mati.
Lalu
ditugaskanlah Perdana Mantari Lego meminang Puti Nalo Nali dari negeri Taluak
Lelo Jati untuk Buyung Pakua dan misi pun berhasil.
Setelah
mendengar dari pedagang, Datuak Rajo Tuo menyesal karena telah mengusir anak
mereka. Padahal takwil mimpi itu hanyalah hasil rekayasa istrinya (Si Rabun
Ameh). Si Rabun Ameh ingin menggoda
Intan Pangiriang, namun Intan Pangiriang tidak mau, sehingga ia menfitnahnya.
Akhirnya
Rajo Tuo mangirim surat kepada ke dua anaknya untuk pulang. Dengan segala
kebesaran hati Intan Pangiriang dan Buyung Pakua, maka mereka pun pulang.
a. Tema
dan Amanat
Masalah fitnah
merupakan tema pokok dalam kaba ini. Masalah fitnah tersebut merupakan sumber
peristiwa-peristiwa di dalam keseluruhan kaba Intan Pangiriang , dan mendapat
porsi besar dalam kaba ini. Amanat pada kaba ini ialah fitnah itu pada akhirnya
akan ketahuan juga.
Tema dan amanat
pada kaba ini termasuk klasik karena fitnah tersebut hanyalah berisi
kebohongan, sedangkan orang yang menfitnah mendapat hukuman yang berat dan yang
kena fitnah menjadi orang beruntung.
b. Alur
Alur dalam kaba
intan Pangiriang berpusat pada tokoh. Cerita-cerita yang menyangkut tokoh utama
dirangkaikan dalam alur tersendiri. Sehingga menghubungkan alur yang satu
dengan alur yang lain sehingga merupakan satu keutuhan alur yaitu masalah utama
(tema).
Selain
terpusatnya peristiwa-peristiwa pada tokoh utama, dalam kaba ini lebih banyak
ditentukan oleh si pencerita (tukang kaba).
Ia dengan mudah mengalihkan suatu
cerita ke cerita lain.
c. Penokohan
Ada tiga watak
tokoh dalam kaba Intan Pangiriang, yaitu tokoh baik atau tokoh teladan, tokoh
jahat, tokoh pengabdi raja.
d. Latar
Kaba Intan
Pangiriang ini bermain dalam latar masyarakat tradisional kelas atas, yaitu
dikalangan kehidupan raja-raja. Alat
transportasi utama yang digunakan adalah
kapal. Ini menunjukan bahwa latar cerita berada pada daerah pesisir
Minangkabau.
e. Gaya
Bahasa
Kaba Intan pangiriang
berasal dari bentuk sastra lisan yang penyampaiannya didendangkan. Kaba itu
berbentuk liris prosa, terikat dengan jumlah suku kata tertentu dan memiliki
persajakan. Di dalamnya terdapat perulangan-perulangan baris atau kalimat untuk
mendapatkan efek bunyi yang indah dan membina eksentuasi masalah yang ingin
dikedepankan.
2. Si
Umbuik Mudo
Di sebuah desa yang
bernama Tirabun hudup seorang ibu beserta anak laki-lakinya yang bernama si
Umbuik Mudo. Ibu si Umbuik Mudo merasa ananya sudah dewasa, tetapi belum juga
mempunyai pekerjaan. Maka dipanggillah si Umbuik Mudo oleh ibunya untuk
menyuruh si Umbuik Mudo untuk mencari pekerjaan. Mereka pun berbincang-bincang,
dan pada akhirnya si Umbuik Mudo memutuskan untuk pergi berguru memperdalam
ilmu agama (Islam) ke Surau Angku Panjang Jangguik di ranah Kampuang Aua.
Beberapa tahun
kemudian, si Umbuik Mudo berhasil menyelesaikan belajarnya menuntut ilmu agama
dan surah Quran. Dia meminta izin untuk kembali ke kampungnya. Tidak beberapa lama, guru si Umbuik Mudo
mengadakan kenduri besar-besaran, dan si
Umbuik Mudo diundang. Si Umbuik Mudo pun datang, maka tuan rumah mengadakan
syurkuran pertanda orang jauh telah datang dengan membakar kemenyan.
Kemudian turunlah Puti
Nan Bertujuh, kemenakan dari guru si Umbuik Mudo yang parasnya sangat cantik.
Putri yang bungsu bernama Puti Galang
Banyak terkenal paling cantik. Berkatalah Puti Galang Banyak kepada si Umbuik
Mudo “sudah banyak orang yang mengaji, tapi hanya kaji engkau bersedia aku
dengarkan, karena aku senang mendengarnya”. Maka mengajilah si Umbuik Mudo,
tetapi jangankan kaji, membacanya saja dia tidak bisa, karena terpukau oleh
kecantikan Puti Galang Banyak.
Tertawalah Puti Nan Bertujuh dengan terbahak-bahak
sambil mencemooh si umbuik Mudo. Melihat
hal yang demikian, si umbuik Mudo marah dan dia pun kembali pulang dan
menceritakan kejadian tersebut pada ibunya. Maka ibunya si umbuik Mudo pergi melamar Puti Galang Banyak, akantetapi
lamarannya ditolak. Ibynya pun menyuruh si umbuik Mudo untuk mencari perupuk hanyut
(buluh perindu) yang dibawa ikan besar dan dililit naga besar, setelah itu
diaspi dengan kemenyan putih.
Perupuk hanyut pun di
dapatkan, si umbuik Mudo pun segera pergi ke tempat mandi Puti Galang Banyak dan meniup puput.
Mendengar bunyi puput si Umbuik Mudo, Puti Galang Banyak terkejut, badannya
melayang-layang dan ingin bertemu dengan yang meniup puput tersebut.
Tak lama kemudian Puti
Galang Banyak jatuh sakit, dan akhirnya
meninggal. Karena kehandak tuhan, dengan dilimaui dan dipukulkan lidi dua kali
tujuh ke kuburan Puti Galang Banyak, maka Puti Galang Banyak hidup kembali. Kemudian dibuatlah pensetujuan anatara Ibu si
Umbuik Mudo dengan ayah bunda Puti Galang Banyak agar anak meraka dikawinkan
segera. Mereka berdua pun bahagia,
karena mereka sudah lama tinggal di rumah orang tua Puti Galang Banyak, maka
mereka memutuskan untuk tinggal di rumah orang tua si umbuik Mudo. Tidak
beberapa lama, mereka berdua pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal.
a. Tema
dan Amanat
Tema dari kaba
si umbuik Mudo ialah kesombangan dan keangkuhan Puti Galang Banyak. Sedangkan
amanat dari kaba si umbuik Mudo ialah:
1) Cinta
yang amat mendalam, segala halangan akan dihancurkan dengan cara yang tidak
baik, akan mengakibatkan kehancuran.
2) Seorang
wanita harus berbicara dan berprilaku, apalagi dalam percintaan. Dalam kaba si umbuik
Mudo ini terdapat kata-kata kasar dari Puti Galangang Banyak kepada ibu si
umbuik Mudo yaitu:
“tuan
Umbuik Mudo saya sudah ketahui
kekayaannya, elok dek kain basalang, kok ameh paninggalan ayahnyo, indak cukuik
ka galang kaki ambo. Janganlah diulang duo kali mengenai tuan Umbuik Mudo,
kalau tergisir saya ampaleh, kalau terletak saya buang, kalau terbawa saya
empaskan”.
3) Orang
tua hendaknya mengajari anaknya untuk berbuat baik.
b.
Alur
Alur yang digunakan
ialah alur rapat. Hal itu dapat ditemui dalam bagian-bagian cerita. Pengarang
mulai menceritakan kehudupan seorang ibu dengan seorang anaknya yang bernama si
Umbuik Mudo.
Ceritanya
dimulai dari pertemuan si Umbuik Mudo dengan Puti Galang Banyak. Kemudian
cerita mulai memuncak ketika ibu si Umbuik Mudo melamar Puti Galang Banyak dan
lamarannya pun ditolak.
Puncak cerita
ialah ketika si Umbuik Mudo membunyikan puput perindu, sehingga terdengar oleh
Puti Galang Banyak. Suara puput tersebut membuat Puti Galang Banyak diserang
penyakit merindu dan ingin berjumpa dengan si peniup puput itu. Akhirnya Puti
Galang Banyak meninggal dunia.
Pengarang pun
memberi pemecahan masalah dengan menghidupkan kembali Puti Galang Banyak oleh
si Umbuik Mudo. Mereka pun menikah dan pada akhirnya meninggal.
c. Penokohan
Tokoh si Umbuik
Mudo adalah tokoh yang taat melaksanakan ajaran agama dan keras hati. Ibu si Umbuik Mudo diambarkan pengarang sebagai
seorang ibu yang menurut semua permintaan anaknya. Tokoh Puti Galang Banyak
digambarkan sebegai wanita yang pemilih, berkata tidak bijak, dan tidak
menghiraukan perasaan orang lain. Ibu dan Ayah Puti Galang Banyak digambarkan
sebagai sebagi tokoh yang menyerah saja akan persoalan yang dihadapi kepad
anaknya. Sedangkan tokoh Rambun Ameh, adiak Umbuik Mudo adalah tokoh
sampingan yang sifatnya penurut saja.
d. Gaya
Bahasa
Gaya bahasa yang
digunakan dalam kaba si Umbuik Mudo ialah gaya bahasa metafora, sindiran, dan
gaya bahasa tradisional seperti pantun, pepatah, dan petitih. Lihat pada kutipan berikut:
“tuan
Umbuik Mudo saya sudah ketahui
kekayaannya, elok dek kain basalang, kok
ameh paninggalan ayahnyo, indak cukuik ka galang kaki ambo. Janganlah diulang
duo kali mengenai tuan Umbuik Mudo, kalau tergisir saya ampaleh, kalau terletak
saya buang, kalau terbawa saya empaskan”.
Selain itu, pertunjukan karya sastra
tersebut juga mengandung beberapa nilai. Pengarang berusaha menyampainkan
pesan-pesan yang berisi nilai-nilai. Adapun tersebut antara lain: nilai pendidikan, nilai sosial, nilai budaya, dan nilai tradisi.
a. Nilai
Pendidikan
Kaba telah lama hidup dalam masyarakat
Minang. Secara tidak langsung kisah-kisah dalam kaba dan pesan yang
disampaikan melalui cerita itu membentuk kesadaran dan karakter masyarakat.
Bahkan, bukan hanya masyarakat Minangkabau saja yang dapat mengambil hikmah
dari pesan yang disampaikan dalam kaba. Kaba Malin Kundang misalnya,
memberikan nasihat secara tidak langsung kepada anak untuk menghormati
orangtua. Nasihat ini diterima tidak hanya di kalangan masyarakat Minangkabau,
namun juga hampir semua daerah di Indonesia.
Kisah-kisah
dalam kaba dapat menjadi contoh untuk pendidikan karakter. Karakter
tokoh dalam kaba, misalnya pantang menyerah, sabar, tahan terhadap
cobaan, dan kerja keras dalam menjadi karakter yang dicontoh untuk ditiru.
Sedangkan karakter yang buruk dapat menjadi contoh untuk dihindari. Setiap kaba
berisi nilai-nilai tertentu, begitu pula dengan kaba yang belakangan
diciptakan oleh pencipta atau tukang kaba.
Tentunya
setiap kaba menyampaikan pesan yang berbeda. Jika Kaba Malin Kundang menceritakan
kisah anak yang durhaka, lain hanya dengan misalnya Kaba Cinduo Mato. Kaba
Cinduo Mato menggambarkan kepahlawanan seseorang, perjuangan seorang tokoh
untuk mencapai tujuan yang mulia.
b. Nilai
sosial
Bakaba mempunyai banyak nilai sosial. Pertunjukan kaba
merupakan ruang di mana keluarga, handai taulan, sanak-famili, dan masyarakat
umum bertemu. Ini menjadi ruang untuk membangun ikatan sosial di antara mereka.
Di samping itu, dengan mengalami peristiwa yang sama ikatan sosial di antara
mereka akan semakin erat.
Dalam pertunjukan kaba juga terlihat bagaimana
masyarakat Minang mengenal Kato nan ampek. Kato nan ampek
merupakan bahasa tutur atau cara seseorang terhadap orang lain dalam masyarakat
Minang. Ini merupakan salah satu bentuk untuk menghormati orang lain. Kato
nan ampek mengenal empat cara bertutur, yaitu kato mendaki,
merupakan cara bertutur pada orang yang lebih tua; kato menurun, adalah
cara bertutur dengan orang yang lebih muda; kato mendatar, adalah cara
bertutur dengan orang sebaya; dan kato melereng merupakan cara bertutur
dengan orang yang disegani atau tokoh masyarakat, misalnya ipar, menantu,
pemuka masyarakat, dan tokoh agama.
Nilai-nilai sosial lain yang muncul dalam pertunjukan kaba
selain kato nan ampek adalah bagaimana semestinya tingkah laku seorang
pemimpin, bagaimana bersopan-santun, dan bagaimana kerjasama masyarakat
terjalin. Dalam hal ini Kaba bukan hanya memunculkan nilai yang mengacu
pada masyarakat biasa atau memberi nasihat kepada orang biasa, namun juga
memunculkan nilai yang semestinya dianut oleh para pemimpin.
c. Nilai
Budaya
Disadari
atau tidak kaba telah memberikan sumbangan besar terhadap kekayaan
sastra, baik sastra tradisi, maupun sastra Indonesia modern. Tidak dapat dipungkiri
bahwa kemunculan karya-karya sastra dan sastrawan di negeri ini tak lepas dari
sastra tradisi yang berkembang di masyarakat, termasuk di dalamnya sastra
lisan. Oleh karena itu, sudah semestinya sastra lisan mendapat perhatian,
selain perhatian pada perkembangan sastra Indonesia modern. Karena disadari
atau tidak sastra tradisional semakin sedikit peminatnya.
d. Nilai
Tradisi
Kaba
merupakan
kekayaan tradisi yang hidup dan berkembang di masyarakat. Cerita-cerita dalam kaba
tersebut sudah lama hidup dan berkembang di masyarakat Minang. Bahkan, boleh
dikatakan kaba sudah menyatu dengan masyarakat Minang.
Menjaga
dan mengembangkan kaba dan bakaba menjadi bagian dari upaya untuk
menjaga dan mengembangkan tradisi. Perkembangan kaba dapat didorong
melalui pertunjukan bakaba atau dengan memberikan ruang penyebaran kaba
melalui media cetak. Memberikan kesempatan kepada para tukang kaba
untuk menggelar pertunjukan adalah hal paling sederhana yang dapat dilakukan.
Jalan ini dapat ditempuh dengan mengundang mereka untuk menggelar pementasan
dalam acara yang digelar pemerintah ataupun pemerhati kebudayaan yang lain.
KEPUSTAKAAN
Edwar
Jamaris, 2002. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Padang Ekspres. 2013. Iringi Syiar
Agama dengan Dangdut dan Pantun Jenaka: Riwayat Salawat Dulang di Tengah
Modernisasi.
http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=43555 diakses pada 5
April 2014.
Suryadi, ed., 1993. Dendang
Pauah, Cerita Orang Lubuk Sikaping. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Syamsuddin Udin, ed., 1996. Rebab
Pesisir Selatan, Malin Kundang. Cetakan kedua. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.