A. Latar Belakang Masalah
Indonesia
memiliki berbagai macam kebudayaan. Kebudayaan tersebut terbentang dari Sabang
sampai Merauke sesuai dengan suku-suku pelaksana kebudayaan tersebut. Namun
seiring dengan perkembangan zaman era globalisasi, kebudayaan Indonesia mulai luntur. Hal ini dikarenakan semakin
berkembangnya teknologi. Sehingga pola pikir masyarakat Indonesia menjadi
pengaruh Barat dan lupa akan kebudayaan Indonesia itu sendiri.
Masuknya budaya
asing ke suatu negara sebenarnya merupakan hal yang wajar, asalkan budaya
tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa. Namun pada kenyataannya budaya asing
mulai mendominasi sehingga budaya lokal mulai dilupakan.
Kurangnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya peranan budaya lokal juga menambah
memperburuk keadaan suatu kebudayaan bangsa. Padahal kebudayaan lokal sebagai
identitas bangsa dan harus dijaga keaslian maupun kepemilikannya.
Hal tersebut
dilatarbelakangi oleh pikiran orang Indonesia yang akhir-akhir ini menganggap
bahwa kebudayaan luar merupakan kebudayaan yang bagus dan modren, sedangkan
kebudayaan Indonesia ialah kebudayaan yang katrok atau tertinggal. Hal itu
dapat terlihat dari pakai orang Indonesia sekarang yang cendrung terbuka. Tentu
pakaian yang terbuka tersebut merupakan kebudayaan luar atau Barat.
Salah satu
kebudayaan yang ada di Indonesia ialah Kebudayaan Minangkabau. Minangkabau
merupakan salah satu suku bangsa yang berpusat di Provinsi Sumatra Barat dan
memiliki sistem kekerabatan matrilineal. Minangkabau memiliki hasil kebudayaan
yang beragam, seperti karya sastra, seni pertunjukan, dan lain-lain.
Di dalam kebudayaan
Minangkabau terdapat ungkapan tradisional yang dapat dijadikan pedoman dalam
berprilaku sehari-hari dengan sesama manusia. Baik dalam bersikap maupun dalam
pemikiran. Ungkapan tradisional tersebut terangkum dalam foklor.
Berdasarkan fenomena di atas, saat
ini orang Indonesia khususnya orang Minang yang mengabaikan suatu ungkapan atau
peribahasa. Padahal ungkapan atau peribahasa perlu dipelihara, dibina, dan
dikembangkan agar ungkapan tradisional Minangkabau tidak hilang. Hal inilah
yang melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian “Kearifan
Berfikir Orang Minangkabau: Tinjauan Foklor terhadap Ungkapan Tradisional
Minangkabau di Kenagarian Kuranji Hulu Kecamatan Sungai Geringging
Kabupaten Padang Pariaman”.
B.
Batasan Masalah
Berdasarkan
latarbelakang masalah di atas, maka terbentuklah batasan masalah agar
penelitian ini terfokus. Adapun batasan masalah dalam penelitian ini ialah (1)
pengetahuan tentang ungkapan tradisional, (2) sikap tetang ungkapan
tradisional, (3) pandangan tentang perlunya ungkapan tradisional.
Tujuan
penelitian Ungkapan Tradisional
Minangkabau di Kenagarian Kuranji Hulu Kecamatan Sungai Geringging
Kabupaten Padang Pariaman adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan Ungkapan Tradisional Minangkabau di Kenagarian Kuranji Hulu
Kecamatan Sungai Geringging Kabupaten Padang Pariaman.
2. Mendeskripsikan Kearifan Berfikir Orang Minangkabau: Tinjauan Foklor terhadap Ungkapan
Tradisional Minangkabau di Kenagarian Kuranji Hulu Kecamatan Sungai
Geringging Kabupaten Padang Pariaman.
Adapun manfaat penelitian yang ingin dicapai dari penelitian
ini adalah.
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat
memperluas khazanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang foklor lisan berupa
ungkapan tradisional Minangkabau.
b. Mengumpulkan teori tentang ungkapan
tradisional Minangkabau.
c. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai
bahan referansi penelitian untuk sastra selanjutnya.
E.
Teori
1.
Foklor
Istilah
folklor berasal dari kata folk, yang
berarti ’kolektif’, dan lore, yang berrti
’tradisi’. Jadi, folklor adalah salah satu bentuk tradisi rakyat. Menurut
Danandjaya (1991:2) foklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang
tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja,
secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun
contoh yang disertai dengan gerak isyarat atu alat pembantu.
Menurut
Bascom, misalnya, folklor terdiri dari budaya material, organisasi politik, dan
religi. Menurut Balys, folklor terdiri
dari kepercayaan rakyat, ilmu rakyat, puisi rakyat, dll. Menurut Espinosa
folklor terdiri dari: kepercayaan, adat, takhayul, teka-teki, mitos, magi, ilmu
gaib dan sebagainya. Unsur-unsur tersebut sebenarnya banyak menarik peneliti
budaya melalui kajian folklor.
Seabagai
patokan tentang apakah unsur-unsur itu merupakan obyek kajian folklor atau
bukan, Dananjaya (1991:3) mengusulkan sembilan kriteria berikut. Pertama,
penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur kata
dari mulut ke mulut, dan kadang-kadang tanpa disadari. Kedua, bersifat
tradisional, artinya disebarkan dalam waktu relatif lama dan dalam bentuk
standar.Ketiga, folklor ada dalam berbagai versi-versi atau varian. Keempat,
folklore bersifat anonim, penciptanya tidak diketahui secara pasti. Kelima,
folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Keenam, mempunyai
kegunaan dalam kehidupan kolektif. Ketujuh, bersifat pralogis, yaitu memiliki
logika sendiri yang tidak tentu sesuai dengan logika umum. Kedelapan, merupakan
milik bersama suatu masyarakat. Kesembilan, bersifat polos dan lugu.
a. Bentuk-bentuk Foklor Indonesia
Kebudayaan
memiliki unsur tujuh kebudayaan universal, yakni sistem mata pencarian, sistem
peralatan dan perlengkapan hidup, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan
sistem religi. Maka foklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar
berdasarkan tipenya: (1) foklor lisan, (2) foklor sebagian lisan, dan (3)
foklor sebagian lisan.
1) Foklor Lisan
Foklor
lisan adalah foklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk foklor
yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain (1) bahasa rakyat seperti
logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsaan; (2) ungkapan
tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan pemeo; (3) pertanyaan
tradisional, seperti teka-teki; (4) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan
syair; (5) cerita prosa, seperti mite, legeda, dan dongeng; (6) nyanyian
rakyat.
2) Foklor Sebagian Lisan
Foklor
sebagian lisan adalah foklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan
bukan lisan. Bentuk-bentuk foklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini
antara lain (1) kepercayaan rakyat, (2) permainan rakyat, (3) teater rakyat,
(4) tari rakyat, (5) adat-istiadat, (6)
upacara, (7) pasta rakyat.
3)
Foklor Bukan Lisan
Foklor
bukan lisan adalah foklor yang membentuknya bukan lisan, walaupun pembuatannya
diajarkan secara lisan. Kelompok ini dibagi menjadi dua, yaitu yang material
(arsitektur, kerajinan tangan, pakaian dan perhiasan tubuh, makanan dan
minuman, dan obat-obatan) dan yang bukan
material (gerak isyarat, bunyi isyarat, dan musik rakyat).
2.
Ungkapan Tradisional
Cervantes
mendefinisikan ungkapan tradisional/peribahasa sebagai “kalimat pendek yang
disarikan dari pengalaman yang panjang”, sedangkan Bertrand Russel
menganggap ungkapan tradisional/peribahasa
sebagai “kebijaksanaan oarang banyak yang merupakan kecerdasan seorang”, (dalam
Dundes (1968) dalam Dananjaya (1991:28).
Peribahasa
dapat dibagi menjadi empat golongan besar, yaitu (a) peribahasa yang
sesungguhnya, (b) peribahasa yang tidak
lengkap kalimatnya, (c) peribahasa perumpamaan, dan (4)
ungkapan-ungkapan yang mirip dengan peribahasa.
Fungsi
peribahasa ialah sebagai alat penesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan,
sebagai alat pendidikan, dan sebagai alat pemaksa dan pengawas norma-norma
masyarakat agar selalu dipatuhi (Bascom (1965) dalam Danandjaya (1991:32).
D.
Metode Analisis
Data
dikumpulkan dengan interview yang hasilnya direkam. Data dari hasil wawancara,
dianalisis yang lebih dahulu dikategorikan sesuai dengan tujuan penulisan.
Analisis hasil wawancara dikelompokkan berdasarkan kategorinya.
E.
Pembahasan
1.
Deskripsi Data Wawancara
a. Peribahasa Mengenai Binatang/Fauna
1)
Bak balam
talampau jinak, gilo
ma-angguak-anguak tabuang aia, gilo mancotok kili-kili.
Arti perkata: bak
(seperti), balam (balam/sejenis unggas), talampau
(terlampau), jinak (jinak), gilo
(gila), ma-angguak-anguak (mengangguk-angguk), tabuang (tabung),
aie (air), gilo
(gila), mancotok (mematok), kili-kili (kili-kili).
Arti keseluruhan:
seperti balam
terlampau jinak, gila mengangguk-angguk tabung air, gila memetok
kili-kili.
Makna:
Sifat seseorang yang terlalu
cepat mempercayai orang
lain, tanpa terlebih dahulu mengetahui
sifat orang lain tersebut.
2)
Bak cando caciang
kapanehan, umpamo lipeh tapanggang.
Arti
perkata: bak cando
(seperti), caciang (cacing), kepanehan (kepanasan), umpamo (umpama), lipeh
(kecoa), tapanggang (terbakar).
Arti
keseluruhan: seperti cacing kepanasan, umpama kecoa terbakar.
Makna: orang yang tidak
mempunyai sifat ketenangan,
di dalam dirinya
selalu ada rasa keluh kesah dan terburu-buru dalam melakukan sesuatu
hal.
3)
Bak malapehan anjiang
tasapik, bak mangadangkan anak harimau.
Arti perkata: bak (seperti),
melepehan
(melepaskan), anjiang (anjing),
tasapik (terjepit), bak (seperti),
menggadangan
(membesarkan/merawat), anak (anak),
harimau (harimau).
Arti keseluruhan: seperti melepaskan anjing terjepit, seperti
membesarkan anak harimau.
Makna: seseorang
yang telah ditolong dengan perbuatan baik di waktu dia
kesulitan, tetapi setelah
dia terlepas dari
kesulitan, dia balas
dengan kejahatan.
4) Mati samuik karano manisan, jatuah kabau dek
lalang mudo.
Arti perkata: mati (mati), samuik (semut), karano (karena), manisan (manisan),
jatuah (jatuh), kabau (kerbau),
dek (oleh/karena), lalang (ilalang), mudo (muda).
Arti keseluruhan: semut mati karena manisan,
kerbau jatuh karena ilalang muda.
Makna: orang mudah terpedaya oleh
mulut manis dan budi bahasa yang baik.
5)
Umpamo jawi balang
pugguang, didulukan inyo manyipak, dikamudiankan inyo mananduak.
Arti perkata: Umpamo
(umpama), jawi (sapi),
balang (belang),
pungguang (punggung), didulukan (didahulukan), inyo (dia), manyipak
(menyipak), dikamudiankan (dibelakang), inyo (dia),
mananduak (menyeruduk).
Arti
keseluruhan: seumpama sapi
punggungnya belang, didahulukan
dia menyipak, dibelakang dia menyeruduk.
Makna: Sifat
yang tidak baik, mau menang
sendiri dan tidak memikirkan keselamatan orang
lain, jadi persoalan
baginya selalu dia kemukakan, sedang dia tidak mempunyai kemampuan.
6)
Batuka baruak jo cigak,
baimbuah jo sa ikue karo.
Arti perkata: batuka (ditukar), baruak
(monyet), jo
(dengan), cigak (cigak/sejenis monyet
tapi lebih buruk dari
pada monyet), baimbuah (tukar-tambah), jo
(dengan), saikue (seekor) karo (kera).
Arti
keseluruhan: ditikar monyet dengan cigak, ditambah dengan seekor kera.
Makna: sesuatu perbuatan belum tentu dapat digantikan
dengan perbuatan yang lain, atau sesuatu perbuatan belum tentu sepadan
dengan perbuatan yang lain.
7)
Sakarek ula, sakarek
baluik.
Arti
perkata: sakarek (sepotong), ula (ular), sakarek (sepotong),
baluik (belut).
Arti
keseluruhan: sepotong ular, sakerek baluik.
Makna: orang
yang munafik. Apabila dia
bertemu dengan orang yang satu
dia akan berkata A, apabila bertemu dengan orang lain dia akan berkata
B.
8)
Bak ayam manampak alang,
umpamo kuciang dibaokkan lidieh.
Arti perkata: bak (seperti),
ayam (ayam), manampak (melihat),
alang (elang), umpamo (seumpama), kuciang (kucing), dibaokkan (dibawakan), lidieh (lidih).
Arti keseluruhan: seperti
ayam melihat elang,
seumpama kucing dibawakan lidih.
Makna: seseorang yang memeliki sifat
ketakutan yang mendalam, sehingga kehidupannya di hantui rasa takut
b.
Peribahasa Mengenai
Tumbuh-tumbuhan/Flora
1)
Tak lakang dek
paneh tak lapuak dek
hujan, dianjak tak
layua, dibubuik tak mati.
Arti
perkata: Tak (tidak), lakang (kering), dek (karena/oleh),
paneh (panas), tak (tidak)
lapuak (lapuk) dek
(karena/oleh), hujan
(hujan), dianjak (dipindahkan), tak (tidak)
layua (layur), dibubuik (dicabut),
tak (tidak), mati (mati).
Arti
keseluruhan: tidak
kering karena panas, tidak lapuk karena hujan, dipindahkan tidak layur, dicabut tidak
mati.
Makna: tidak akan pernah
mati walau dimakan zaman
dan cobaan yang melanda.
Hal ini menggambarkan
kebenaran yang terkandung dalam Adat Minangkabau, karena ajarannya bersumber
dari ketentuan alam yang disusun jadi pepatah yang senantiasa kebenarannya
tidak dapat dibantah.
2)
Umpamo kancah laweh arang,
umpamo tabu saruweh.
Arti
perkata: Umpamo
(umpama/seperti), kancah (kuali), laweh (luas), arang (mulut), umpamo
(umpama/seperti), tabu (tabu), saruweh
(seruas).
Arti
keseluruhan: seperti kuli besar,
seperti seruas tabu.
Makna: Seseorang yang suka bicara
tanpa memikirkan orang lain tersinggung. Juga
dapat diartikan sebagai
seseorang yang kalau bicara ceplas-ceplos
dan
tidak dapat menyimpan rahasia.
3)
Dek pinang sabatang, abih
aue saumpun.
Arti perkata: dek (karena),
pinang (pinang), sabatang
(sebetang), abih (habis),aue (banbu),
saumpun (serumpun).
Arti
keseluruhan: karena sebatang pinang,
habis serumpun bambu.
Makna: karena membela
seseorang, rela keluar
dari kaum/kelompoknya. Sehingga dia tidak
dianggap lagi di dalam kaumnya atau kelompoknya.
4)
Dicaliak si puluik ditanak
badarai.
Arti perkata: dicaliak (dilihat),
si (si), puluik (pulut),
ditanak (dimasak), badarai (berderai).
Arti
keseluruhan: dilihat si pulut,dimasak berderai.
Makna: tertipu akan kecantiakan
dan keindahan seseorang, tetapi apabila diteliti lagi orang
tersebut ternyata orang yang sangat jelek
di bidang perilaku atau di bidang
lainnya.
5)
Bak manjamua ateh jarami,
jariah abih jaso tak ado.
Arti perkata: bak (seperti), manjamua (menjemur), ateh (atas), jarami (jerami),
jariah (letih), abieh (habis), jaso (jasa/hasil), tak
(tidak), ado (ada).
Arti
keseluruhan: seperti menjemur di atas jerami, letih tapi hasil tak ada.
Makna: pekerjaan tanpa
perhitungan, akan mendapatkan rugi dan menghasilkan perbuatan yang sia-sia.
6)
Bak bagantuang di aka
lapuak, bak bapijak di dahan mati.
Arti perkata: bak (seperti),
bagantuang (bergantung/bergelayutan), di (di),
aka (akar), lapuak (lapuk),
bak (seperti), bapijak (berpijak)
di (di), dahan (dahan), mati (mati).
Arti
keseluruhan: seperti bergantung/bergelayutan di
akar lapuk, seperti berpijak di dahan mati.
Makna: seseorang yang
mengantungkan nasibnya kepada
orang yang sangat lemah dan tidak
punya pendirian yang kuat.
7)
Baumpamo batuang tak
bamiyang, bak bungo tak baduri.
Arti perkata: baumpamo (seumpama),
batuang (sejenis bambu betung), tak (tidak), bamiyang (bermiyang), bak (seperti),
bungo (bunga), tak (tidak), baduri (berduri).
Arti keseluruhan: seumpama
bambu betung tidak bermiyang,
seperti bunga tidak berduri.
Makna: seseorang dalam hidup
tidak mempunyai sifat malu,
baik kepada laki-laki maupun
kepada wanita.
c.
Peribahasa Mengenai
Manusia
1)
Buruak muko camin dibalah.
Arti perkata: buruak (buruk/jelek), muko (muka/wajah), camin
(cermin), dibalah (dibelah).
Arti
keseluruhan: buruk muko camin dibelah.
Makna: ada seseorang yang membuat kesalahan
karena kebodohannya, tetapi yang disalahkannya
orang lain atau peraturan.
Seseorang yang berbuat salah
karena kebodohannya, akan tetapi
kesalahan tersebut
ditimpalkankepada orang lain.
2)
Tatungkuik samo makan
tanah, tatilantang samo minum ambun, tarapuang samo hanyuik, tarandam samo
basah.
Arti
perkata: Tatungkuik (tertungkup), samo (sama), makan (makan), tanah (tanah), tatilantang (telentang), samo (sama), minum (minum),
ambun (embun), tarapuang
(terapung), samo (sama), hanyuik (hanyut), tarandam (terendam ), samo
(sama), basah (basah).
Arti keseluruhan:
tertungkup sama-sama makan
tanah, telentang sama-sama minum embun, terapung
sama-sama hanyut, terendam sama-sama basah.
Makna: dalam
hidup bermasyarakat kita harus
sama-sama berbagi kesenangan dan juga
ikut merasakan sakit seseorang,
sehingga kita mau membatu orang tersebut. Begitu juga dalam
kerja sama, kerja sama yang baik dalam masyarakat, kesatuan
hati dan pikiran,
kesatuan pendapat dan
gerak adalah pokok utama.
3)
Basasok bajarami,
batunggue bapanabangan, bapandam bapusaro.
Arti
perkata: basasok (bersosok), bajarami (berjerami),
batunggue (bertunggul) bapanabangan (berpenanggungan), bapandam (berpandam), bapusaro (berpusara) .
Arti
keseluruhan: bersosok berjerami, bertunggul
berpenanggungan, berpandam berpusaro.
Makna: setiap kita harus tahu dari mana asal kita dan
memiliki bukti keberadaankita di daerah asal itu.
4)
Sabilah papan yang usak,
sabilah pulo dipelok i.
Arti
perkata: sabilah (sebuah), papan (papan),
yang (yang), usak (rusak), sabilah (sebuah), pulo (pula),
dipelok i (diperbaiki).
Arti
keseluruhan: sebuah papan yang rusak, satu itu pula yang diperbaiki.
Makna: suatu kesalahan harus
cepat diselesaikan langsung ke titik permasalahan, jangan bertele-tele karena bisa mengakibatkan permasalahan baru.
5)
Sakapa jadikan bumi,
satitiak jadikan lauik.
Arti perkata: Sakapa (segenggam), jadikan (jadikan),
bumi (bumi), satitiak (setitik), jadikan (jadikan),
lauik (laut).
Arti
keseluruhan: segenggam jadikan bumi, setitik jadikan laut.
Makna: walaupun sedikit perbuatan baik orang kepada
kita, tapi sedikit itu harus kita amalkan dengan sebaik-baiknya.
6)
Hilang ibu dek atuih.
Arti
perkata:hilang (hilang), ibu (ribu), dek (karena)
atuih (ratus).
Arti
keseluruhan:hilang (uang) seribu, karena (uang ) ratusan.
Makna: karena perbuatan yang
kecil, jasa lama dilupakan begitu saja.
7)
Nan luruih katangkai sapu,
nan bungkuak katangkai bajak,
satampok kapapan tuai, nan ketek kapasak suntiang, panarahan
kakayu api, abunyo kapupuak padi.
Arti perkata: Nan (yang),
luruih (lurus), ka (untuk),
tangkai (tangkai), sapu (sapu), nan (yang),
bungkuak (bengkok) ka (untuk),
tangkai (tangkai), bajak (bajak), satampok (segepok), ka (untuk), papan (papan),
tuai (tuai), nan (yang)
ketek (kecil), ka
(untuk) pasak (pasak),
suntiang (suntimg),
panarahan (sisa potongan),
ka (untuk), kayu (kayu),
api (api),
abunyo (abunya), ka (untuk),
pupuak (pupuk), padi (padi).
Arti keseluruhan: yang lurus untuk tangkai
sapu, yang bengkok untuk tangkai bajak, sagapok untuk papan tuai,
yang ketek untuk pasak sunting,
sisa potongan untuk kayu bakar, abunya untuk pupuk padi.
Makna: tidak ada bahan yang tidak berguna, semua dapat dipakai. Begitu juga
dengan orang, tidak ada orang yang tidak dapat dimanfaatkan, semuanya dapat
diminta bantuannya dan semua orang dapat memberi bantuan sesuai dengan kemampuannya.
d. Peribahasa
Mengenai Anggota Kerabat
1)
Mamak manyibak pintu,
kamanakan manggompak dindiang.
Arti perkata: Mamak (mamak/paman),
manyibak (menyibak), pintu (pintu), kamanakan (kemanakan), manggompak
(menghancurkan), dindiang (dinding).
Arti
keseluruhan: paman menyebak pintu,
kemenakan menghancurkan dinding.
Makna: setiap
perlakuan tingkah laku mamak
akan ditiru oleh kemanakan, apabila tingkah
laku paman tidak baik, maka
tingkah laku kemenakan akan lebih
tidak baik. Peribahasa ini
hampir sama dengan
peri bahasa
‘guru
kencing berdiri, murid kencing berlari’.
2)
Aie cucuan atok turunnyo
ka palambahan.
Arti perkata: aie (air), cucuan (cucuran), atok (atap),
turunnyo (turunnya/jatuhnya), ka (ke), palambahan (pelambahan/got).
Arti
keseluruhan: air cucuran atap turunnya/ jatuhnya ke pelambahan atau got.
Makna: sifat,
tabiat, kemampuan, kepintaran
dan lain-lain dari
seorang ayah akan diturunkan
kepada anakya.
3)
Ayahnyo kuriak,
sakurang-kurangnyo anaknyo rintiak.
Arti perkata: ayahnyo (ayahnya),
kuriak (hujan), sakurang-kurangnyo (sekurang-kurangnya)
anaknyo (anaknya) rintiak (rintik).
Arti
keseluruhan: ayahnya hujan, sekurang-kurangnya anaknya rintik.
Makna: sepandai-pandai sang ayah,
maka kepadaian tersebut akan turun kepada sang anak walaupun sedikit.
4)
Anak dipangku, kamanakan
dibimbiang, urang kampuang bapatenggangkan.
Arti perkata: Anak (anak)
dipangku (dipangku/disayang),
kamanakan (kemenakan), dibimbiang (dibimbing), urang (orang), kampuang
(kampung), dibapatenggangkan (dihormati).
Arti keseluruhan: anak dipangku,
kemenakan dibimbing (kearah yang benar), urang kampung dihormati.
Makna: menggambarkan
fungsi seorang mamak/paman di
Minangkabau, anaknya di rawat dan disayang,
sedangkan kemaenakan di bimbing/diarahkan
ke jalan yang benar, dan orang kampung dihormati.
5)
Bak balaki tukang ameh, mananti laki pai
maling.
Arti perkata: bak (seperti),
balaki (bersuami), tukang (tukang),
ameh (emas), mananti (menunggu/menanti), laki (suami), pai (pergi), maling (maling/mencuri).
Arti
keseluruhan: seperti bersuami tukang emas/pengrajin emas, menanti suami pergi
maling/mencuri.
Makna: menunggu suatu yang sulit untuk
dicapai, karena kurang tepat
dalam melakukan perhitungan, sehingga harapan tidak kesampaian.
6)
Kalau karuah aia di hulu
sampai ka muaro karuah juo.
Arti
perkata: kalau (kalau), karuah (keruh), aia (air), di hulu (di hulu), sampai (sampai), ka(ke), muaro (muara), karuah (keruh), juo (juga).
Arti
keseluruhan: kalau keruh air di hulu, sampai ke muara juga keruh.
Makna: keturunan menentukan corak
dan kelakuan seseorang yang didapat dari
ibu bapaknya.
e.
Peribahasa Mengenai Fungsi Anggota Tubuh
1)
Nan buto pahambuih
lasuang, nan pakak pamasang badia, nan lumpuah pahunyi rumah, nan patah pangajuik ayam,
nan bingguang kadisuruah-suruah,
nan cadiak bao baiyo, nan kayo
bakeh batenggang.
Arti perkata: Nan (yang), buto(buta), pahambuih (paniup),
lasuang (lesung), nan (yang)
pakak (tuli), pamasang (pelepas), badia (senapan),
nan (yang), lumpuah (lumpuh), pahuni (penghuni),
rumah (rumah), nan (yang), patah (patah), pangajuik (pengejut) ayam (ayam), nan (yang), bingguang (bingung), kadisuruah-suruah (untuk perintah-perintah),
nan (yang), cadiak (pintar),
bao (ajak), baiyo (berfikir),
nan (yang), kayo
(kaya), bakeh (tampek) batenggang (penghormatan).
Arti keseluruhan:
yang buta
peniup lesung, yang tuli pelepas
senapan, yang lumpuh penghuni rumah,
yang patah pengejut ayam, yang bingung untuk diperintah-perintah, yang pintar
ajak berfikir, yang kaya
tampek penghormatan.
Makna: jangan memandang randah orang lain karena
semua orang dapat dimanfaatkan, mulia
dan hina, kaya
dan miskin, sempurna
dan cacat, pandai dan bodoh.
2)
Bak si bisu barasian,
takana lai takatokan indak.
Arti
perkata: bak (seperti), si bisu (si bisu), barasian (ngigau), takana (terpikir),
lai (ada), takatokan (terbicarakan),
indak (tidak).
Arti keseluruhan: seperti
orang bisu ngigau, ada
terpikir tapi tidak bisa dibicarakan.
Makna: seseorang yang tidak
sanggup menyebutkan dan mengemukakan sesuat hal, karena
dia merasa ragu akan
pengetahuan yang dimilik orang tersebut.
3)
Baguno lidah tak batulang,
kato gadang timbangan kurang.
Arti
perkata: baguno (berguna),
lidah (lidah), tak (tidak),
batulang (bertulang), kato (kata), gadang (besar),
timbangan (timbangan), kurang (kurang).
Arti
keseluruhan: berguna lidah tidak bertulang, besar kata kurang timbangan.
Makna: seseorang berbicara secara
angkuh dan sombong, tidak memikirkan orang lain akan tersinggung.
4)
Babana ka ampu kaki, ba
utak ka pangka langan.
Arti perkata: babana (membetulkan), ka (ke),
ampu kaki (ibu jari), ba utak (berfikir) ka (ke), pangka (pangkal), langan (lengan).
Arti
keseluruhan: membetulkan ke ibu jari, berfikir ke pangkal lengan.
Makna: sifat seseorang yang mudah tersinggung dan tanpa
pikir panjang langsung saja berkelahi
hanya karena hal kecil.
5)
Geleang kapalo bak
sipatuang inggok, lonjak bak labu dibanam.
Arti perkata: geleang (geleng),
kapalo (kepala), bak (seperti),
sipatuang (belalang),
inggok (hinggap),
lonjak (lonjak), bak (seperti), labu (labu), dibanam (dibenam).
Arti keseluruhan: geleng kepala seperti
belalang hinggap, lonjak seperti labu dibenam.
Makna: seseorang
yang gagah dibuat-buat
mempunyai sifat sombong dan angkuhnya.
6)
Capek
kaki ringan tangan, capek
kaki indak panaruang,
ringan tangan bukan pamacah.
Arti perkata: Capek (cepat),
kaki (kaki), ringan
(ringan), tangan (tangan), capek (cepat), kaki
(kaki), indak (tidak), panaruang (tersandung), ringan (ringan),
tangan (tangan),
bukan (bukan), pamacah (pemecah).
Arti keseluruhan: cepat kaki ringan tangan, cepat kaki tidak
mudah tertungkai, ringan tangan tidak menghancurkan.
Makna: Sifat
terpuji dan dikehendaki
oleh Adat dan
agama, dan mempunyai ketangkasan dan kesatria tetapi
tidak melampaui batas kesopanan.
7)
Mancaliak jo suduik mato,
bajalan di rusuak labuah.
Arti perkata: mancaliak (melihat),
jo (dengan), suduik (sudut),
mato (mata), bajalan
(berjalan), di (di), rusuak (rusuk), labuah (jalan).
Arti
keseluruhan: melihat dengan sudut mata, berjalan di rusuk labuah.
Makna: Seseorang
yang telah mendapat malu, karena belangnya telah diketahui orang banyak.
2.
Analisis Hasil Wawancara
a.
Pengetahuan tentang Ungkapan Tradisional/Peribahasa
Menurut
pengakuan narasumber pengetahuannya tentang
ungkapan tradisional/peribahasa didapatkannya dari orang tuanya dan dari
orang didekatnya atau orang-oarang sekitar tempat dia tinggal. Pengetahuan
tersebut akan dia salurkan kepada anaknya karena menurut dia akan berguna
nantinya.
b.
Sikap tentang Ungkapan
Tradisional/Peribahasa
Sikap narasumber terhadap ungkapan tradisional/peribahasa sangat mendukung
dan mengapresiasi orang-orang yang telah menciptakan ungkapan tradisional/peribahasa, yang
menyebarluaskan dan yang mempertahankan ungkapan tradisional/peribahasa tersebut. Tetapi karena sifat ungkapan tradisional/peribahasa anonim atau tidak
ada pengarangnya, maka dia hanya bisa berusaha menyampaikan sebanyak yang dia
tahu kepada anaka dan kemanakannya dan bahkan kepada orang sekitar.
c.
Pandangan tentang Perlunya Ungkapan
Tradisional/Peribahasa
Pandangan
narasumber terhadap ungkapan tradisional/peribahasa merupakan yang sangat
mendukung. Karena ungkapan tradisional/peribahasa bisa dijadikan pedoman dalam
kehidupan sehari-hari. Tidak hanya itu, ungkapan tradisional/peribahasa bisa
mengambarkan karakter seseorang. Misalnya saja dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita sering melihat orang
yang melakukan kesalahan, kita tidak perlu langsung mengatakan orang itu
mendapat malu, tetapi kita dapat menggambarkannya dengan ungkapan tradisional/peribahasa.
Bahkan kita sendiri bisa mendapat malu, dalam ungkapan tradisional/peribahasa
pun dijelaskan,
Apabila
kita mendapat malu, maka kita jangan menganggap masalah yang kita buat itu akan
cepat dimaafkan atau diterima orang, tapi kita tampakkan bahwa kita menyesal.
Seperti peribahasa berikut ini: Mancaliak jo suduik mato, bajalan di rusuak labuah. Akantetapi. banyak orang yang
tidak memperhatikan ungkapan
tradisional/peribahasa lagi. Akibatnya, orang-orang kehilangan jati dirinya,
dan bahkan hilang jati kebudayaannya atau kebangsaannya. Orang tidak lagi berkarakter,
karena setiap perkataan dan perbuatan seenaknya saja tampa mempertimbangkan
orang lain.
F. Penutup
1.
Simpulan
a. Ungkapan tradisional/peribahasa
merupakan bagian dari suatu kebudayaan dan dapat dikaji dengan foklor.
b. Ungkapan tradisional/peribahasa dapat
dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
c. Dengan adanya ungkapan tradisional/peribahasa
kita dapat menciptakan jati diri yang berkarakter dan sopan santun yang baik.
d. Orang-orang banyak kehilang jati dari
berkarakternya karena tidak faham dengan ungkapan tradisional/peribahasa yang
berkembang dan kalau pun ada tidak mengaplikasikannya.
2.
Saran
a. Saran dari penulis, sebaikya ungkapan tradisional/peribahasa
yang berkembang dimasyarakat harus ditingkatkan dan kita diamalkan
bersama-sama. Sehingga kita menjadi bangsa yang berkarakter baik dan penuh
sopan santun yang tinggi.
b. Saran dari pembaca untuk penulis,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar
penulisan berikutnya menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaya, James.1991. Foklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan
Lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Lampiran
LEMBARAN PENCATATAN DAN PANDUAN WAWANCARA
PENGUMPULAN DATA SASTRA LISAN
Ciri media
rekaman :
Nokia X2-00
Ciri salinan : Ketikan di
Microsof Word
A. Judul sastra
lisan
1.
Genre : Peribahasa
2.
Daerah Asal : Nagari Kuranji Hulu, Kec. Sungai
Geringging
3.
Suku Bangsa/ Suku pemilik : Minangkabau
B.
Pencerita/Informan
1.
Nama :
Ali Zubir
2.
Tempat, tanggal lahir : Ladang Rimbo, 23 Juni 1962
3.
Jenis kelamin : Laki-laki
4.
Pekerjaan : Wiraswasta
5.
Suku bangsa/suku : Minangkabau
6.
Bahasa yang dikuasai : Minang dan Indonesia
7.
Tempat perekaman : Rumah informan
8.
Tanggal perekaman : 22 Maret 2014
C.
Keterangan tentang lingkungan
penceritaan
1.
Dari siapakah, di mana, dan kapan,
pencerita menerima sastra lisan itu?
Informan mendapatkan peribahasa ini
dari percakapan beliau sehari-hari dengan orang sekeliling, seperti; ayah, ibu,
kakak, abang, mamak, kakek, dan nenek beliau.
Peribahasa yang dia dapatkan pada umumnya didapatkan di rumah ayah dan
ibu beliau di Desa Ladang Rimbo, dan pesantren Surau Tangah Padang tempat ayah
beliau mengajarkan ilmu agama yang kini pesantren itu sudah tidak ada lagi.
Informan mendapatkan peribahasa tersebut pada saat dia masih kecil sampai pada
dia dewasa pada saat ini.
2.
Pada kesempatan apa sastra lisan itu
diceritakan?
Informan mendapatkan peribahasa
tersebut pada saat orang-orang disekitarnya itu memberi nasehat baik kepada dia
maupun kepada orang lain. Informan juga mendapatkan peribahasa tersebut pada
saat dia dan orang-orang disekitarnya bercengkrama, baik bersama keluarga inti
maupun bersama orang-orang di dekatnya.
3.
Untuk maksud apa dan oleh siapa sastra
lisan itu diceritakan?
Untuk memberikan pelajaran dan
menciptakan kareakter yang baik kepada anak-anak atau orang yang mendengarnya.
Sastra lisan bisa disampaikan oleh orang yang lebih dewasa kepada orang yang
lebih kecil, dan bisa juga disampaikan oleh seumuran kita.
4. Kepada siapa sastra lisan itu diceritakan?
Sastra lisan disampaikan atau
diceritakan kepada siapa saja, asalkan orang tersebut mau mendengarkan,
mempelajari, dan mengamalkan sastra lisan tersebut.
5. Bagaimana suasana penceritaan?
Suasana penceritaan pada saat
pengumpul data melakukan wawancara ialah dalam suasana tenang, tidak ada orang
lain selain pengumpul data dengan informan. Hanya saja suara televisi yang
sengaja di atur volumenya sedikit lebih kecil dan terkadang istri informan
lewat di depan kami satu atau dua kali.
D.
Pendapat/Opini
1. Bagaimana pendapat/opini pencerita
terhadap sastra lisan itu?
Pendapat pencerita atau informan
terhadap sastra lisan ialah sastra lisan ialah suatu hal yang mungkin dapat
merubah karakter bangsa. Karena di dalam sastra lisan terdapat pengajaran yang
bermanfaat dan sejarah.
2.
Bagaimana pendapat/opini pengumpul
data?
Pendapat pengumpul data tentang sastra
lisan ialah sastra lisan merupakan suatu karya seni yang tak ternilai harganya.
Sastra lisan dapat menggambarkan karakter atau pandangan hidup suatu
kolektif. Di dalam sastra lisan juga
terdapat cerita yang bermanfaat bagi kita, baik dalam berbicara, berprilaku,
dan banyak lagi yang lainnya.
3. Mengapa mereka berpendapat demikian?
Karena
orang-orang pada saat ini telah lupa akan sastra lisan, kandungan sastra lisan,
fungsi sastra lisan, dan maanfaat sastra lisan, sehingga orang-orang bertindak
semena-mena dan tidak saling menghormati.
E.
Pengumpul data:
1.
Nama : Aadiaat Makruf Sabir H.
2.
Tempat, tanggal lahir : Batu Mangaum, 23 Juni 1993
3.
Jenis kelamin : Laki-laki
4.
Alamat : Pinang Sori no. 19, Komplek Polonia,
Air Tawar
Timur, Padang.
Artikel
di atas merupakan salah satu tugas bloger ini pada saat kuliah di Universitas
Negeri Padang, Fakultas Bahasa dan Seni Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan
Daerah, Prodi Sastra Indonesia. Apabila ada kesalahan mohon kritik dan saran.
Terimakasih.