Karya sastra sebagai salah satu bagian karya seni
bukanlah suatu benda mati (artefak) yang statis, tetapi adalah sesuatu yang
hidup secara terus-menerus berlangsung dalam ruang dan waktu (Taufik Abdullah (1991) dalam Yasnur Asri (2010:26).
Karya sastra akan selalu dicoba dipahami oleh pembaca, karena dalam
penceritaan sastrawan selalu
menceritakan kehidupan disekitarnya (realita
sosial). Tidak hanya penceritaan semata, akan tetapi juga berisi kritikan atau
tanggapan tentang dunia di sekitarnya, yang tentunya akan menambah wawasan
pembaca. Dan tidak hanya itu, selama karya tersebut dihargai dan
dipahami oleh pembacanya, maka ia akan selalu hidup. Untuk
menghargai sebuah karya sastra diperlukan analisis, sehingga maksud dari
penceritaan dalam karya itu benar-benar tersampaikan.
A.
Teori
Di
dalam karya sastra, berisi pikiran, pandangan, wawasan, bahkan pengalaman
pengarang tentang sesuatu hal. Hal tersebut berisi kumpulan konflik-konflik di
mata pengarang. Konflik tersebut dapat member pengalaman atau pengetahuan
kepada pembaca lewat karya pengarang.
Yasnur Asri juga membedakan konflik dalam cerita atas tiga jenis. Pertama,
konflik dalam diri seseorang tokoh (psychological
conflik). Dalam konflik ini,
seseorang tokoh dalam cerita berupaya melawan dirinya sendiri. Kedua, konflik antar seseorang atau
orang-orang dalam cerita dan masyarakat (social
conflict). Konflik ini biasanya menyangkut permasalahan social dan
kemasyrakatan. Ketiga, konflik manusia dengan alam (physical
or element conflict). Konflik ini dikaitkan dengan alam. Dimana tokoh tidak
dapat memanfaatkan alam sebagaimana mestinya. Dan ada juga konflik antarmanusia dangan nasibnya, dengan tuhan
(Yasnur Asri 2010:178).
Yasnur Asri juga mengemukakan susunan tahap kerja
model analisis, yaitu: (1) penginventarian data-data karya meliputi penentuan
latar, penentuan peran tokoh, hubungan antarperan, penetapan masalah
berdasarkan hubungan antarperan; (2) penyidikan norma-norma yang diungkapkan
karya sastra, sekaligus dalam hal ini penyelidikan kenyataan realitas objektif
melalui anggota masyarakat yang sepadan degan peran-peran tokoh yang ada dalam
karya sastra; dan (3) penyelidikan hubungan permasalahan karya sastra dengan
norma-norma realitas objektif (Yasnur Asri 2010:48).
B.
Metode
Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan
jenis penelitian studi dokumen atau teks. Tujuan utama penelitian kualitatif
adalah untuk memahami fenomena atau gejala sosial yang diceritakan oleh
pengarang melalui karyanya. Fonomena atau gejala sosial yang diceritakan
tersebut selalu dapat kita temukan dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam analisis ini peneliti mengunakan
analisis berdasarkan penentuan latar, penentuan
peran dan hubungan antar peran, dan melalui alur cerita.
C.
Penentuan Latar
Cerpen “Ajari Aku Tersenyum” karya Risman Adi Sumantri mengungkapkan
kehidupan anak yang ditinggal cerai oleh ayah dan ibunya. Anak tersebut bernama
Hasan hanya dikasuh oleh kakek, nenek
dan mamang-mamangnya di desa Parung Baliung, Kabupaten Sukabumi. Berikut
data-data terstruktur cerpen ini tentang hal itu, seperti kutipan tersebut:
“Semenjak ibu dan ayahnya bercerai
sepuluh tahun yang lalu, semenjak itu pula Hasan tinggal dengan kakek-nenek dan
mamang-mamangnya (paman) yang kehidupan ekonominya juga serba pas-pasan”
“Setelah dinyatakan lulus dari SDN
Parung Baliung”
“Cukup jauh memang dari Desa Parung
Baliung dekat pusat Kabupaten Sukabumi, tempat kakek Hasan”.
Setelah tamat SD, Hasan dibawa ibunya ke Surade, tempat dimana ibunya
mencari nafkah. Berikut data-data terstruktur cerpen ini tentang hal itu,
seperti kutipan tersebut:
“Seorang wanita yang datang itu ternyata
ibunya Hasan yang tinggal di Surade.”
“Setelah semalam menginap, pagi itu ibunya
Hasan mengutarakan niatnya untuk membawa Hasan tinggal dengannya, melanjutkan
sekolah”.
Melalui latar dalam cerpen ” Ajari Aku Tersenyum” karya Risman Adi Sumantri ini dapat
disimpulkan bahwa cerpen ini mencoba mengutarakan bagaimana perasaan dari seorang
anak yang ditinggal cerai oleh ayah dan ibunya. Dan lebih lama diasuh oleh
kakek, nenek, dan mamangnya (pamannya).
D.
Penentuan Peran Dan Hubungan Antar Peran
Dalam karya sastra sosok seorang tokoh selalu diberi
pearan. Dalam cerpen ” Ajari Aku Tersenyum” terdapat beberapa tokoh yang mendapatkan
peran. Iventarisasi peran tokohtokoh cerpen ” Ajari Aku Tersenyum” adalah
sebagai berikut.
1.
Tokoh Hasan memerankan peran: anak, cucu,
kemenakan, murid dan yunior.
2.
Tokoh Ibu Hasan memerankan peran: ibu dan anak.
3.
Tokoh nenek hasan
memerankan peran: ibu dan nenek.
4.
Tokoh kakek hasan
memerankan peran: kakek.
5.
Tokoh nanang
memerankan peran: paman.
6.
Tokoh Bu Kartinah memerankan peran: guru.
7.
Tokoh Wira memerankan peran: senior dan
murid
Permasalah akan
terlihat, jika peran yang satu dihubungkan demngan peran yang lain. Beberapa
peran yang diperankan tokoh-tokoh cerita tersebut dapat dihubungkan atau
dikelompokan menjadi:
a.
Anak dan orang tua (ayah dan ibu)
b.
Cucu dan kakek atau nenek.
c.
Kemenakan dan paman.
d.
Murid dan guru.
e.
Junior dan senior.
Pengelompokan hubungan
antar peran tersebut, sekaligus dapat dilihat sebagai topik yang dibicarakn
pengarag dalam karyanya. Topik-topik tersebut dapat membantu peneliti untuk
menelaah lebih mendalam tentang permasalahan-permalasahan yang diceritakan
pengarang.
Topik (a) anak dengan
orang tua tidak ada konflik antara kedua peran itu. Tidak ada konflik antara
Hasan dengan Ayah dan Ibunya. Topik (b) cucu dan kakek atau nenek tidak ada
konflik kedua peran itu. Tidak ada konflik Hasan antara Kakek dan Neneknya.
Topik (c) kemenakan dan paman tidak ada konflik antara kedua peran itu. Tidak
ada konflik antara Hasan dengan Nanang. Topik (d) murid dan guru ada konflik,
akan tetapi tidak begitu berarti. Konflik Wira dengan Bu Kartinah tidak begitu
menegangkan dan konflik itu hanya sebentar. Topik (e) junior dan senior ada
konflik. Konflik antara Hasan dengan Wira ketika MOS sekolah.
1. Permasalahan Junior dan Senior
a. Secara
Normatif
Seorang senior adalah
seseorang abang atau kakak. Seorang abang atau kakak adalah seorang yang harus
menjadi panutan yang baik dan dicontoh oleh adik-adiknya. Seorang senior harus
menampakkan jiwa yang baik, jiwa penyang, perhatian, dan mempunyai solidaritas
yang tinggi kepada juniornya. Sehingga junior dapat meniru tingkah laku dan
jiwa dari sang senior.
b. Secara Fiktif
Dalam cerpen “Ajari
Aku Tersenyum” tokoh Wira yang berperan sebagai senior dan menjabat sebagai
panitia MOS, malah menghardik dan manghukum juniornya. Hal tersebut dapat kita
lihat pada kutipan berikut:
“yang dimaksud bukan ini tolol! tapi sapu lidi!” sambil melempar ikatan
bambu, sang senior menggiring Hasan seraya menjambak rambutnya. “Push up!!!
Tigapuluh!” bentak sang senior.
Dari gambaran kutipan diatas, memperlihatkan bagaimana
sikap dari Wira yang semena-mena terhadap juniornya. Hal ini tentu tidak sesuai
dengan fungsi dari seorang senior.
E. Melalui Alur Cerita
Untuk melihat konflik yang terdapat di
dalam karya sastra, kita bisa melihatnya melalui alur cerita. Sebuah konflik dalam karya sastra bersumber dari
kehidupan. Dalam mengakaji sebauh karya, si pengkaji atau peneliti secara
emosional terlibat tehada apa yang diceritakan pengarang, karena peneliti tidak
hanya sebagai pembaca tapi juga merangsang emosionalnya untuk dibawa ke peristiwa nyata.
Dalam cerpen “Ajari Aku Tersenyum” mempelihatkan betapa sedihnya seorang
anak melihat ibunya bekerja banting tulang semenjak ayah dan ibunya bercerai.
Dan setiap melihat ibunya, dia merasa sedih. Hal itu dapat dilihat dari kutipan
berikut:
“Setiap ia menatap
ibunya, setiap itu pula batinnya terluka”.
Semenjak ibunya merantau dan mencari uang, Hasan tinggal bersama Kakek,
Nenek, dan Mamanya tanpa ada saudara yang memani. Semenjak itulah dia merasa tidak terima akan
nasibnya yang ditinggal orang-orang yang dia sayang dan orang-orang yang
seharusnya merawat dia. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut:
“Hasan pun tumbuh menjadi anak muda yang
pendiam, prihatin, dan pemurung. Perjalanan hidup yang ia lalui cukup
memilukan. Ia tidak pernah menemukan kebahagiaan yang ia dambakan. Sebagai anak
bungsu dari tiga bersaudara kandung beda ayah, ia tak pernah merasakan
bagaimana rasanya dimanja, canda-tawa dengan ibu dan ayah serta saudara-saudaranya.
Apalagi saudara-saudaranya tersebut telah menikah dan mempunyai anak.”
Keterbatasan ekonomi dan jauh dari orang tua membuat Hasan terpuruk akan
nasib yang dia rasakan. Dia merasa, tidak ada tempat dia bercerita dan
mengadukan apa yang ia kehendaki. Ketika dia tamat SD, Dia ingin sekali masuk
SMP seperti teman-temannya yang baru saja kembali dari sekolah untuk mendaftar
bersama ibu meraka. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut:
“Demi melihat semua itu, hatinya begitu
perih. Batinnya remuk, hancur”.
Akibat terlalu merasa dibelenggu nasib, Hasan selalu menjadi orang yang
pendiam. Ditambah lagi ekonomi yang membelit keluarga, membuat hasan bertambah
terpuruk. Ketika dia sudah tinggal bersama ibunya, di daerah tempat tinggalnya
anak-anak seusia dia pergi bermain dan pada sore hari pergi ke masjid. Hasan hanya duduk termenung di serambi rumah
sambil menunggu ibunya pulang sambil menulis sesuatu. Rupanya dia lapar
semenjak pulang dari sekolah. Ketika itu memperlihatkan bagaimana perekonomian
keluarganya pada saat itu. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut:
“Udah
makan, Nak?” tanyanya. “Belum Bu, yang ada hanya nasi sore kemarin. Itu pun
sudah basi.”
Ketika ibunya masuk ke rumah, ibunya melihat ada secarik kertas yang
bertuliskan pesan dari Hasan. Pesan itu ialah:
“Ibu Ajari Aku Untuk Tersenyum….”
Kertas itu berisi tulisan yang
meminta ibunya untuk mengajari dia agar terlapas dari permasalahan yang
membayangi dirinya. Permasalahan itulah yang menjadi konflik di dalam cerpen
yang ingin disampaikan pengarang.
Kepustakaan
Adi,
Risman Sumantri. 2013. Cerpen ” Ajari Aku Tersenyum”.
Asri,
Yasnur. 2010. Sosiologi Sastra: Teori dan Terapan.Padang: Tirta Mas.