1.
Apa
itu diglosia ?
Diglosia adalah penggunaan dua buah
bahasa atau lebih dalam masyarakat, akantetapi masing-masing bahasa mempunyai
fungsi atau
mempunyai peranan dalam konteks sosial. Misalnya penggunaan bahasa formal untuk kantor dan bahasa biasa untuk di rumah.
2.
Bagaimana
diglosia dalam Minangkabau ?
Diglosia
dalam Minangkabau dapat dagi menjadi dua, yaitu :
a.
Bahasa
Formal dan Bahasa Non-formal
Bahasa formal digunakan untuk acara adat, seperti pengangkatan penghulu
(niniak mamak), dan lain-lain yang biasanya disebut dengan pasambahan. Format
bahasa pasambahan ini penuh dengan kata-kata klasik, pepatah-petitih dan terkadang disisipi pantun-pantun.
Bahasa non-formal digunakan dalam bahasa sehari-hari, yang berarti
bahasa sehari-hari tidak digunakan untuk acara formal seperti acara adat dan
begitu juga sebaliknya.
b.
Tingkatan
Usia
dan Kedudukan
Seseorang
1) Kato
mandaki; tatakrama bertutur dengan orang yang lebih tua.
2) Kato
Melereang; tatakrama bertutur kepada orang yang disegani.
3) Kato mandata;
tatakrama bertutur kepada teman sebaya.
4) Kato
manurun; tatakrama bertutur kepada orang yang lebih muda.
3.
Apa
perbedaan diglosia Mianangkabau dengan bahasa lain ?
Berikut
perbedaan diglosia Jawa, Sunda, Bali, Madura, yaitu sebagai berikut:
a.
Sunda
Dalam bahasa
Sunda dikenal dikenal dengan undak usuk basa yang berisi tatabahasa yang mengatur tingkat bahasa di Sunda. Seperti
bahasa rendah dan bahasa tinggi, yaitu :
1) Basa
cohag (ragam
kasar),
2) Basa loma (ragam untuk sesama),
3) Basa sedeng (ragam sedang atau tengah),
4) Basa lemes (ragam halus).
Dalam bahasa
Sunda, seorang anak berbicara dengan seorang guru tidak bisa menggunakan bahasa
loma, tetapi harus menggunakan bahasa lemes.
b.
Jawa
Sedangkan di Jawa terdapat tiga tingkatan bahasa,
yaitu :
1) Ngoko
(tingkat paling rendah),
2) Krama (tengah),
3) Krama
inggil (tingkat tinggi).
c.
Bali
Dalam
masayarakat Bali, terdapat kasta-kasta dalam masyarakatnya, ada suatu aturan
pemakaian ragam bahasa. Misalnya, kasta rendah harus menggunakan bahasa rendah
untuk sesamanya dan bahasa tinggi untuk kasta yang lebih tinggi. Berikut kasta-kasta yang ada di Bali menurut
tingkatnya, yaitu :
d.
Madura
Di Madura
ada tiga tingkat bahasa, yaitu :
1)
Ja' - iya (paling rendah)
2)
Engghi-Enthen (sama)
3)
Engghi-Bunthen (tingkat tinggi)
Penggunaan bahasa
dimasing-masing daerah sudah diatur oleh adatnya masing-masing. Perbedaan
diglosia bahasa Minangkabau dengan bahasa daerah lain (Jawa, Sunda, Bali, dan Madura), yaitu :
1)
Diglosia Jawa, Sunda, Bali, dan Madura pada umunya
mengatur cara berbicara seseorang kepada orang lain, baik kosa kata yang
digunakan, maupun intonasi. Sedangkan diglosia Minangkabau berisi kosa kata, intonasinya, dan sikap kita
terhadap lawan bicara.
2) Basa lemes (halus) dalam bahasa Sunda
digunakan untuk orang yang di hormati. Dalam bahasa Minangkabau untuk orang
yang kita hormati menggunakan kato
mandaki. Sedangkan kata halus (penuh kasih sayang) bahasa Minangkabu
mengunakan kato manurun.
3) Dalam
diglosia Jawa ada 3, akan tetapi masing-masing bahasa digunakan untuk keperluan
tertentu. Misalnya, krama inggil dipakai untuk sastra (termasuk tembang
atau lagu), sedangkan untuk percakapan sehari-hari menggunakan bahasa ngoko.
Sedangkan Diglosia Minangkabau, menggunakan semua bahasa atau semua kato nan ampek.
4) Dalam
diglosia Bali, bahasa yang digunakan sesuai dengan tingkatan drajat seseorang.
Misalnya, ketika tingkatan paling rendah berbicara kepada tingkatan tinggi,
maka tingkatan rendah bahasaya akan halus. Apabila drajatnya tinggi berbicara
kepada drajat rendah, maka bahasanya kasar. Sedangkan diglosia Minangkabau,
apabila orang lebih tua atau orang drajatnya tinggi berbicara kepada yang lebih
kecil, maka bahasanya halus. Dan apabila yang kecil berbicara kepada yang
besar, maka bahsanya akan penuh rasa hormat.
5) Sedangkan Madura
hampir sama dengan Jawa.
4.
Apa
yang anda ketahui dalam budaya Minangkabau tentang perbedaan pemakaian bahasa? Misalnya : pemakaian bahasa
sehari-hari dan pemakaian bahasa upacara adat (resmi/formal).
Bahasa Minangkabau dalam pemakaian
sehari-hari menggunakan kato nan ampek,
yaitu : 1)Kato mandaki; tatakrama
bertutur dengan orang yang lebih tua, 2) Kato Melereang; tatakrama
bertutur kepada orang yang disegani, 3) Kato mandata; tatakrama
bertutur kepada teman sebaya, dan 4) Kato manurun; tatakrama
bertutur kepada orang yang lebih muda.
Sedangkan pemakaian bahasa upacara adat (resmi atau formal, acara syukuran, dan perhelatan)
menggunakan bahasa
pasambahan yang penuh dengan kata-kata klasik, pepatah-petitih dan terkadang disisipi pantun-pantun dan tidak lupa dengan kato nan ampek. Pasambahan
dilantunkan secara bersahut-sahutan.
5.
Bagaimana
pemakaian bahasa Minangkabau dalam sastra dan lagu ? disertai dengan contoh!
A. Karya Sastra
Kesusastraan
Minangkabau dapat dibagi atas dua jenis, yang berdasarkan penggunaan bahasanya, yaitu :
1)
Prosa
Prosa Minangkabau pada
mulanya diungkapkan secara lisan. Setelah aksara Arab dikenal masyarakat
Minangkabau, prosa ditulis dalam aksara Arab yang kemudian dikenal dengan
tulisan Arab Melayu. Ketika Aksara Latin dikenal pula, prosa itupun disalin
dalam tulisan tersebut. Bentuk-bentuk prosa Minangkabau: Tambo dan Kaba.
Dari segi kebahasaan karya sastra prosa Minangkabau lebih
terlihat sebagai penggambaran usaha orang Minangkabau dalam memahami alam
semesta yang kemudian melahirkan ilmu pengetahuan, seperti filsafat minang alam
takambang jadi guru.
Contoh
:
Kaba si Umbuik
Mudo
Yang menceritakan Puti Galang Banyak
mengabaikan kata-kata orang
bijak ”Berjalan pelihara kaki, berkata pelihara
lidah.” Sehingga
ia harus
menanggung resiko yang dibayar dengan nyawanya. Apa yang dilakukan si Umbuik
Mudo untuk menutup malunya adalah suatu hal yang tidak perlu dicontoh. Meskipun
akhirnya dia sangat menyesal, tapi nasi sudah menjadi bubur, sesal kemudian
tidak ada gunanya.
2)
Puisi
Karya
sastra puisi Minangkabau biasanya berbentuk Pantun, pasambahan, dan pidato adat.
Dari segi kebahaasan pantun
Minangkabau memiliki makna yang lebih dalam dibanding dengan bagian yang bukan
sampiran. Jadi, sampiran pada pantun Minangkabau tidak sekedar pemanis irama
kata belaka. Tidak ada kata-kata yang mubazir dalam pantun ini karena bahasanya
saling mendukung serta baris ketiga dan keempat yang lebih lugas dapat menjadi
pengantar yang pas untuk memahami pameo yang menjadi sampiran.
Contoh:
(1) Tagangnyo tajulai-julai
Kanduanyo badantiang-dantiang
Hati lapang paham salasai
Cukuik syarat kato jo rundiang
Kanduanyo badantiang-dantiang
Hati lapang paham salasai
Cukuik syarat kato jo rundiang
(2) O, upiak rambahlah paku
Nak tarang jalan ka parak
O, upiak ubahlah laku
Nak sayang urang ka awak
Nak tarang jalan ka parak
O, upiak ubahlah laku
Nak sayang urang ka awak
(3) Nan kuriak iyolah kundi
Nan merah iolah sago
Nan baiak iolah budi
Nan indah ioah baso
Nan merah iolah sago
Nan baiak iolah budi
Nan indah ioah baso
B. Lagu
Bahasa lagu minang pada dasarnya sama dengan puisi :
Contoh
:
Kutipan liirik lagu Ayam Den Lapeh
Sikua capang sikua capeh
Saikua tabang sikua lapeh
Tabanglah juo nan karimbo
Ai lah malang juo
Saikua tabang sikua lapeh
Tabanglah juo nan karimbo
Ai lah malang juo
Pagaruyuang jo Batusangka
Tampek mandaki dek urang Baso
Duduak tamanuang tiok sabanta
Oi takana juo
Tampek mandaki dek urang Baso
Duduak tamanuang tiok sabanta
Oi takana juo
Den sangko lamang nasi tuai
Kironyo tatumpah kuah gulai
Awak ka pasa alah usai
Oi lah malang denai
Kironyo tatumpah kuah gulai
Awak ka pasa alah usai
Oi lah malang denai