Baca juga analisis psikologi cerpen "Kue itu memekan ayahku"
A. Pendahuluan
Sastra merupakan
hasil pemikiran pengarang berdasarkan realitas sosial budaya suatu masyarakat,
oleh karena itu dalam karya sastra banyak menceritakan interaksi antarmanusia
dan dengan lingkungannya. Karya sastra juga merupakan salah satu ungkapan rasa
estetis yang peka dan kelembutan jiwa yang besar oleh pengarang terhadap alam sekitarnya.
Pengarang yang memiliki imajinatif yang tinggi dan dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari
segi kreativitas sebagai karya seni dapat memberikan gambaran kehidupan.
Sebuah karya
sastra pada hakikatnya merupakan suatu pengungkapan kehidupan melalui bentuk
bahasa. Sastra merupakan hasil ciptaan tentang karya kehidupan dengan
menggunakan bahasa imajinatif dan emosional. Karya sastra merupakan refleksi
hati nurani sastrawan dalam pembeberan estetika untuk mendapatkan perhatian
bersama.
Manusia adalah
sumber dari sastra dan psikologi, maka pada manusia lah pertautannya dapat
ditemukan. Antara psikologi dan sastra merupakan dua sisi yang saling
berpasangan, berbeda tetapi saling melengkapi karena terpaut dengan hal yang
sama. Psikologi suatu ilmu yang mengandalkan analisis, sedangkan sastra lebih
mengandalkan sistesis
Psikologi sastra
lahir sebagai salah satu jenis kajian sastra yang digunakan untuk membaca dan
menginterpretasikan karya sastra, pengarang karya sastra dan pembacanya dengan
menggunakan berbagai konsep dan kerangka teori yang ada dalam psikologi. Dengan
memfokuskan pada karya sastra, terutama fakta cerita dalam sebuah fiksi atau
drama, psikologi karya sastra mengkaji tipe dan hukum-hukum psikologi yang
diterapkan pada karya sastra.
Cerpen merupakan
salah satu karya sastra yang kaya akan aspek psikologi. Objek penelitian ini
adalah cerpen Perempuan Balian karya Sandi Firly yang diterbitkan oleh
Kompas pada 24 Juni 2012. Cerpen Perempuan Balian karya
Sandi Firly menceritakan tokoh aku yang menceritakan tentang balian di
Kalimantan seorang perempuan muda yang tidak pernah terjadi sebulumnya. Bahkan
perempuan muda itu telah diaanggap gila sebelumnya. Tokoh aku datang ke
perkampungan tempat balian itu untuk melakukan penelitian (mencari tempat yang
banyak mengandung emas) dan sekaligus melihat balian.
B.
Permasalahan
Permasalahan
yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana unsur alur, penokohan, dan
latar dalam cerpen Perempuan Balian karya
Sandi Firly serta bagaimana aspek-aspek psikologis tokoh dalam cerpen Perempuan
Balian karya Sandi Firly.
C.
Tujuan
Secara umum,
penelitian ini bertujuan untuk
menambah khazanah ilmu pengetahuan dari kajian bidang ilmu sastra, terutama
kajian kumpulan cerpen sehingga dapat bermanfaat bagi usaha pengembangan
teori-teori sastra mengenai disiplin ilmu psikologi sastra. Sesuai permasalahan
yang diuraikan di atas, penelitian ini secara khusus bertujuan untuk
mengidentifikasi unsur penokohan, alur, dan latar dalam cerpen Perempuan
Balian karya Sandi Firly serta untuk
mengetahui dan mendeskripsikan aspek-aspek psikologis tokoh dalam cerpen Perempuan
Balian karya Sandi Firly.
D. Kerangka Teori
1.
Hakikat Cerpen
Cerpen merupakan prosa fiksi (rekaan) yang memiliki
cakupan panjang tulisan diantara cerpen pendek dan cerpen panjang. cerpen
merupakan tulisan berbentuk prosa naratif (karangan bebas narasi) yang berisi
cerita khayal/fiksi dan disajikan secara ringkas. Meskipun dalam cerpen
mengalami perkembangan bentuk dari segi penulisan, pada cerpen tetap ditemukan
kesatuan unsur fiksi yaitu alur cerita, amanat, tema, karakter, nada, suasana,
bahkan pada gaya penulisan.
Cerpen juga berbeda dengan novel. Cerpen mengisahkan
unsur-unsur fiksi dengan bahasa yang singkat. Sedangkan novel cenderung untuk
mengungkapkan karakter melalui suatu rangkaian bahasa yang panjang yang
dilukiskan penuh dengan tindakan/perilaku atau perasaan di bawah tekanan,
dengan ukuran tujuan cerita terpenuhi ketika pembaca mengenali suatu karakter
tokoh secara benar-benar alami (atau kadang-kadang juga sebuah situasi yang
begitu terasa benar-benar alami). Oleh karena itu, secara tidak disadari
penulisan karakterisasi dan alur cerita pada roman/novel dengan sendirinya
memerlukan bahasa yang panjang dan mendetail.
Berdasar pendapat di atas dapat dibuat simpulan bahwa
cerpen adalah sebuah karya sastra berbentuk prosa naratif (karangan bebas
narasi) yang berisi cerita khayal/fiksi dan disajikan secara ringkas
2.
Struktur Cerpen
a. Penokohan
Penokohan fiksi
modren bersifat dinamis. Hanya nama tokoh yang tidak berubah, sedangkan pisik
dan psikis, kebiasaan dan gaya berbicara dapat berubah sehingga seluruh
karakter tokoh berubah. Menurut Muhardi dan Hasanuddin WS (1992:26), perubahan
penokohan harus diberi situasi dan kondisi yang beralasan dan perubahan watak tokoh
dapat berlangsung karena terjadi perubahan latar cerita. Dalam fiksi, tokoh
memainkan beberapa peran dalam sebuah novel. Permasalahan novel tidak muncul
melalui tokoh, tetapi melalui pertemuan dua peran yang berpasangan atau
berlawanan. Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sikap, sifat, tingkah
laku, atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh
sastrawan disebut perwatakan.
Untuk
menggambarkan karakter tokoh, pengarang bisa menempuh: (a) teknik analitik,
yakni dengan menceritakan perwatakan tokoh secara langsung; dan (b) teknik
dramatik dengan mengemukakan karakter tokoh melalui penggambaran fisik dan
perilakunya, lingkungan kehidupannya, tata kebahasaannya, jalan pikirannya,
serta perannya dengan tokoh lain.
b.
Alur atau Plot
Alur adalah
rangkaian cerita yang dibentuk dari tahapan-tahapan peristiwa. Alur yang baik
ialah alur yang memiliki kausalitas diantara peristiwa dalam sebuah fiksi,
karena hubungan alur satu dengan yang lainnya menunjukkan hubungan
sebab-akibat. Menurut Muhardi dan Hasanuddin WS (1992:28) alur adalah hubungan
antara satu peristiwa atau sekelompok peristiwa dengan peristiwa atau
sekelompok peristiwa lain. Menurut Ramadansyah (2011:112) alur merupakan suatu
rangkain peristiwa cerita secara susul-menyusul/sebab-akibat yang berusaha memecahkan
konflik di dalam cerita ke dalam situasi yang seimbang dan harmonis.
Muhardi dan
Hasanuddin WS (1992:29) membagi
karakteristik alur atas dua bagian, yaitu:
Alur konvensional adalah jika peristiwa yang disajikan
lebih dahulu selalu menjadi penyebab munculnya peristiwa yang hadir sesudahnya.
Peristiwa yang muncul kemudian selalu menjadi akibat dari peristiwa yang
diceritakan sebelumnya. Alur inkonvensional adalah peristiwa yang diceritakan
kemudian menjadi penyebab peristiwa yang diceritakan sebelumnya, atau peristiwa
yang diceritakan lebih dahulu menjadi akibat dari peristiwa yang diceritakan
sesudahnya.
c.
Latar
Latar adalah
penanda identitas permasalahn fiksi yang mulai samar diperlihatkan alur atau
penokohan (Muhardi dan Hasanuddin WS, 1992:30). Latar berfungsi untuk
memperjelas suasana, tempat, dan waktu peristiwa itu berlaku. Dalam membangun
masalah, latar harus saling menunjang dengan alur dan penokohan. Latar yang
konkret berhubungan dengan tokoh yang konkret, sedangankan latar yang abstrak
biasanya berhubungan dengan tokoh-tokoh yang abstrak.
Latar akan
menentukan watak dan karakter tokoh dan
latar juga harus bersatu dengan tema dan plot, sehingga dapat menghasilkan
cerita yang padat dan berkualitas. Jadi, latar bersangkutan dengan alur dan
penokohan.
1)
Latar tempat merupakan lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan. Unsur tempat yang dipergunakan bisa berupa tempat-tempat dengan
nama tertentu, inisial tertentu, atau lokasi tertentu tanpa nama jelas.
2)
Latar waktu, berhubungan dengan “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan”
tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya
atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.
3)
Latar sosial,
berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial juga berhubungan dengan status
sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya
rendah, menengah, atau atas. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan
masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup,
bahasa, dan berkaitan tempat serta waktu yang melatari peristiwa.
d.
Tema
Tema adalah inti
permasalahn yang hendak dikemukakan pengarang (Muhardi dan Hasanuddin WS, 1992:38).
Dalam karya fiksi terdapat banyak peristiwa yang disampaikan pengarang, tetapi
hanya ada satu tema sebagai intisari dari rangkaian permasalahan itu.
Akantetapi bagi peneliti dan kritikus, penentuan tema bukanlah tugasnya. Tugas
seorang peneliti atau kritikus ialah mencari sebanyak-banyaknya permasalahan
kemanusiaan dan nuansa sosial budaya masyarakat dalam karya sastra.
3.
Pendekatan
Analisis Fiksi
a.
Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif merupakan suatu pendekatan yang
hanya menyelidiki karya sastra itu sendiri berdasarkan teksnya (Muhardi dan
Hasanuddin WS, 1992:45). Pendekatan ini sangat berpegang pada otonom pada karya
sastra dengan unsur di luar karya sastra, sehingga tidak perlu lagi menyelidiki
unsur di luar karya sastra.
b.
Pendekatan Mimetik
Pendekatan
mimetik merupakan suatu pendekatan setelah menyelidiki karya sastra sebagai
sesuatu yang otonom dan menghubungkannya dengan realita objektif. Meskipun
karya sastra ialah karya yang otonom, tetapi tetap saja karya sastra berangkat
dari kenyataan sehari-hari. Pendekatan mimetik merupakan sebuah pendekatan yang
berusaha menelaah tentang keadaan suatu masyarakat dalam karya sastra. Oleh
sebab itu, karya sastra dikatakan sebagai mirror
of society. Dalam kajian ini, pendekatan mimetik termasuk dalam sosiologi
sastra.
c.
Pendekatan Ekspresif
Pendekatan
ekspresif merupakan pendekatan yang mencari hubungan antara karya sastra dengan
pegarangnya, karena pengarang merupakan faktor penting dalam proses penciptaan
karya sastra (prosa). Pendekatan
ekspresif menganggap pengarang merupakan objek utama dalam penelitian, karena
bagaimanapun karya sastra adalah ekspresi dari pengarangnya. Pendekatan
ekspresif didukung dan berkembang dengan alasan sebagai: (a) pengarang
menggambarkan cara berfikir masyarakat pada zamannya, dan (b) pengarang
dianggap penguasa terhadap karya ciptaannya karena dia yang menentukan watak,
masalah, tokoh, dan bahasa dalam karyanya itu sendiri.
d.
Pendekatan Pragmatis
Pendekatan
pragmatis merupakan pendekatan yang memandang pentingnya hubungan hasil temuan
dalam karya sastra dengan pembaca sebagai penikmat. Pendekatan pragmatis
beranggapan bahwa unsur penentu pemberian makna sebuah karya sastra adalah
pembaca. Tujuan dari pendekatan ini ialah melihat sampai sejauh mana karya
sastra memberi mamfaat dan kenikmatan kepada pembaca. Oleh sebab itu, pembaca
merupakan faktor yang hakiki dalam menentukan makna sastra.
4.
Psikologi Sastra
Sastra adalah analisis terhadap karya sastra dengan
mempertimbangkan aspek atau keterlibatan psikologi atau kejiwaan. Menurut
Roekhan (dalam Endraswara, 2008:97—98), psikologi sastra menyangkut tiga
pendekatan yakni pendekatan tekstual, pendekatan reseptif-pragmatik, dan
pendekatan ekspresif. Penelitian psikologi sastra ini difokuskan pada masalah
tekstual dengan menggunakan pendekatan tekstual untuk mengkaji aspek psikologis
tokoh dalam karya sastra.
Psikologi sastra merupakan gabungan dari teori psikologi
dengan teori sastra. Sastra sebagai “gejala kejiwaan” di dalamnya terkandung
fenomena-fenomena kejiwaan yang nampak lewat perilaku tokoh-tokohnya, sehingga
karya teks sastra dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan psikologi.
Antara sastra dengan psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat tak
langsung dan fungsional, demikian menurut Darmanto Yatman ( dalam Aminuddin,
1990:93). Pengarang dan piskolog kebetulan memiliki tempat berangkat yang sama,
yakni kejiwaan manusia. Keduanya mampu menangkap kejiwaan manusia secara
mendalam. Perbedaannya, jika pengarang mengungkapkan temuannya dalam bentuk
karya sestra, sedangkan psikolog sesuai keahliannya mengemukakan dalam bentuk
formula teori-teori psikologi.
Psikologi sastra adalah suatu kajian yang bersifat
tekstual terhadap aspek psikologis sang tokoh dalam karya sastra. Sebagaimana
wawasan yang telah lama menjadi pegangan umum dalam dunia sastra, psikologi
sastra juga memandang bahwa sastra merupakan hasil kreativitas pengarang yang
menggunakan media bahasa, yang diabdikan untuk kepentingan estetis. Karya
sastra merupakan hasil ungkapan kejiwaan seorang pengarang, yang berarti di
dalamnya ternuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir
maupun suasana rasa/emosi Roekhan (dalam Aminuddin, 1990:88-91).
Menurut Freud
(dalam Suryabrata, 2012:124), kepribadian terdiri atas tiga aspek, yaitu: id,
ego, dan superego. Id berada di alam bawah sadar, dan sama sekali tidak ada
kontak dengan realitas. Ego menghasilkan perilaku yang didasarkan atas prinsip
kenyataan, sedangkan superego mengacu pada moralitas kepribadian. Id adalah
aspek psikologis dan merupakan sistem original di dalam kepribadian. Pedoman id
adalah menghindarkan diri dari ketidakenakan dan mengejar keenakan yang disebut
dengan prinsip kenikmatan. Id tergambar dari pikiran-pikiran liar seseorang
yang berasal dari alam bawah sadar, Ego berpegang pada prinsip kenyataan dan
bereaksi dengan proses sekunder.
Tujuan prinsip
kenyataan adalah mencari objek yang tepat untuk mereduksikan tegangan yang
timbul dalam organisme. Ego dipandang sebagai aspek eksekutif atau pengelolaan
kepribadian karena mengontrol jalan yang ditempuh dan memilih
kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi (Suryabrata, 2012: 126). Superego
adalah aspek sosial kepribadian. Superego merupakan kesempurnaan dari
kesenangan karena superego dapat pula dianggap sebagai aspek moral kepribadian.
Fungsinya menentukan apakah sesuatu itu benar atau salah, dan pantas atau
tidak, dengan demikian pribadi dapat bertindak sesuai dengan moral masyarakat
(Suryabrata, 2012: 127). Mekanisme pertahanan ego adalah cara yang ekstrim
untuk menghilangkan tekanan kecemasan ataupun ketakutan yang berlebihan
(Suryabrata, 2012: 144).
E. Metode Penelitian
Penelitian ini
termasuk penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Penelitian
kualitatif menggunakan metode-metode kualitatif yaitu pengamatan, wawancara,
atau penelaah dokumen. Penelaah dokumen adalah teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan menelaah dokumen yang ada untuk mempelajari pengetahuan atau
fakta yang hendak diteliti. Menurut Semi (1993:23) penelitian yang kualitatif
dilakukan tidak dengan mengutamakan pada angka-angka, tetapi mengutamakan
kedalaman penghayatan terhadap interaksi
antarkonsep yang sedang dikaji secara empiris. Dengan menggunakan metode ini
diharapkan akan dapat memperoleh gambaran tentang masalah yang akan diteliti.
Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut Semi (1993:24)
penelitian yang kualitatif bersifat
deskriptif artinya data yang terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar-gambar,
bukan bentuk gambar-gambar. Dalam penelitian kualitatif sangat dipentingkan
laporan bahasa verbal karena semua interpertasi dan kesimpulan-kesimpulan
disampaikan secara verbal.
Baca juga kumpulan penelitian sastra
Baca juga kumpulan penelitian sastra
F.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa psikologi sastra juga memandang sastra sebagai hasil kreativitas pengarang yang menggunakan media bahasa, diabdikan untuk kepentingan estetis, di dalamnya ternuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir maupun suasana rasa/emosi. Fenomena kejiwaan sebagai proyeksi pemikiran pengarang nampak lewat perilaku tokoh-tokoh ceritanya, sehingga karya teks sastra dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan psikologi.
Pembahasan terhadap cerpen Perempuan Balian karya Sandi Firly dimulai dengan analisis struktur kemudian dilanjutkan dengan analisis psikologi sastra. Analisis struktur diarahkan pada tiga unsur, yaitu penokohan, alur, dan latar. Ketiga unsur ini berfungsi sebagai pendukung analisis psikologi sastra.
1. Penokohan dalam Cerpen Perempuan Balian Karya Sandi Firly
Penggambaran karakter tokoh dalam cerpen Perempuan Balian karya Sandi Firly, menggunakan teknik analitik dan teknik dramatik. Lihat pada kutipan berikut:
a. Teknik Analitik
“Sebelum peristiwa malam itu yang akan kuceritakan nanti, Idang dikenal sebagai perempuan kurang waras. Kerap mengamuk kesurupan, dan meracau menceritakan tentang mimpi-mimpinya yang aneh.”
b. Teknik Dramatik
“Dengan wajah agak memerah, orang tua itu berucap,
”Kalian anak muda ini, tahu apa kalian tentang balian. Kalian lihat saja nanti,
hutan dan kampung kita ini nantinya akan ditimpa bencana. Dan itu karena
perempuan gila yang hendak menjadi balian.” Setelah membayar kopinya, lelaki
tua itu pun pergi meninggalkan warung sambil menggerutu, ”Celaka… celaka…
celaka.””
Berikut ini dideskripsikan gambaran perwatakan tokoh inti yaitu Aku, seorang perempuan muda (idang), Damang Itat/lelaki tua, anak usia empat tahun, seorang ibu muda, dan dua lelaki.
a. Aku, merupakan tokoh yang menceritakan tentang perempuam balian. Tokoh aku merupakan seorang peneliti yang ditugaskan di daerah tersebut, termasuk melihat pertunjukan balian.
“Aku melakukan hirupan terakhir kopiku
sebelum bersiap pergi meninggalkan warung. Aku harus segera memulai perjalanan
sebelum matahari meninggi. Tugasku selama dua minggu melakukan penelitian,
termasuk menyaksikan upacara balian, sudah berakhir.”
b. Perempuan muda (idang), merupakan seorang perempuan yang dikenal sebagai seorang yang kurang waras dan telah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya.
“Sebelum peristiwa malam itu yang akan kuceritakan
nanti, Idang dikenal sebagai perempuan kurang waras. Kerap mengamuk kesurupan,
dan meracau menceritakan tentang mimpi-mimpinya yang aneh. Kepada orang-orang
ia sering mengatakan, ”Ada ular-ular besar menyusup dalam mimpiku. Ular itu
bukan mimpi, tapi ular yang menyusup dalam mimpiku. Dalam mimpi juga aku sering
bertemu Ayah.””
c. Damang Itat/lelaki tua, merupakan lelaki tua yang umurnya sudah lebih dari satu abad dan tidak suka dengan kehadiran perempuan muda yang diaanggap kurang waras sebagai idang.
“Dialah damang, yang konon usianya sudah lebih
satu abad. Wajahnya yang penuh kerutan waktu mengingatkan pada rekahan-rekahan
batang pohon tua dalam hutan terdalam. Damang Itat, begitulah orang-orang
Meratus memanggilnya, yang malam itu akan menjadi pemimpin upacara aruh.”
d. Anak usia empat tahun, merupakan orang sakit yang menderita sakit yang parah dan harus segera diobati.
“Tubuh kecil kurus anak usia empat tahun itu
seperti kehilangan daging dan air. Hanya tulang-tulang berbalut kulit kering
layaknya kulit kayu tua mengerut keras, yang cepat meretas seperti ilalang
terbakar di musim kemarau yang mengerontangkan ceruk kehidupan. Warna kulitnya
kuning serupa kunyit. Hanya matanya masih menyimpan kilat hidup, meski juga
sudah meredup dalam napas yang beringsut ingin melepaskan rongga dadanya yang
tipis, membayangkan keretak kayu lapuk. Jari-jari sapu lidinya menjentik pelan
pada lantai beralas lampit, mengikuti irama tari tiga balian.”
e. Seorang ibu muda, merupakan ibu dari anak usia empat tahun yang sedang sakit parah.
“Seorang ibu muda yang telah kehabisan air mata terduduk lemas di sudut belakang balai. Kantung matanya menebal, rambut terbiarkan tergerai kusut berhari-hari tak tersisir tangan dan dilembutkan minyak jelantah. Ialah ibu si anak yang kini nyawanya tengah di awang-awang dalam pertolongan para balian yang terus menari dan merapalkan mantra-mantra.”
f. Dua lelaki, merupakan tokoh yang berada di warung yang memperbincangkan tentang idang seorang perempuan dengan seorang laki-laki tua.
“Setelah lelaki tua itu agak jauh,
seorang dari lelaki di warung berucap, “Mungkin ia kecewa dan malu karena tak
mampu menyembuhkan anak itu, meski diupacarai selama tiga malam.””
2. Alur dalam Cerpen Perempuan Balian Karya Sandi Firly
Karakteristik alur dalam cerpen Perempuan Balian karya Sandi Firly ialah alur konvensional. Pengarang lebih dahulu menggambarkan penyebab terjadinya suatu peristiwa, dimana seorang perempuan yang dianggap krang waras menjadi idang. Adapun penyebab dari peristiwa dalam cerpen Perempuan Balian karya Sandi Firly tergambar dalam kutipan berikut:
“…Idang dikenal sebagai perempuan kurang waras. Kerap mengamuk kesurupan, dan meracau menceritakan tentang mimpi-mimpinya yang aneh…”
“…Ia suka memanjat pohon, hal yang hanya pantas dan perlu kekuatan seperti dimiliki anak laki-laki…”
“Ini menyalahi adat. Tidak pernah ada seorang perempuan, apalagi perempuan itu dianggap gila, bisa menjadi seorang balian. Ini alamat mendatangkan bencana,” ucap seorang lelaki tua di warung kepada dua lelaki yang lebih muda...”
3. Latar dalam Cerpen Perempuan Balian Karya Sandi Firly
Ada tiga latar yang diteliti
dalam cerpen ini, yaitu, latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
a.
Latar Tempat
1)
Pegunungan Meratus
“Idang memang tak seperti
kebanyakan perempuan lainnya yang hidup di pegunungan Meratus.”
2)
Balai Atiran
“Balai Atiran terang benderang.
Orang-orang mulai berdatangan memasuki rumah besar panggung itu”
3)
Belahan hitam hutan Kalimantan Selatan
“Balai itulah
cahaya benderang satu-satunya di belahan hitam...” hutan Kalimantan Selatan
yang sebenarnya tak lagi perawan.”
4)
Sebuah kampung kecil
“Sebuah kampung kecil, yang malam
itu menghelat upacara ritual untuk si sakit.”
5)
Warung
““…Ini alamat mendatangkan
bencana,” ucap seorang lelaki tua di warung kepada dua lelaki yang lebih muda.”
b.
Latar Waktu
Peristiwa
yang disampaikan oleh tokoh aku, terjadi pada malam hari dan hari-hari setelah
peritiwa pada malam itu.
“Sebelum
peristiwa malam itu yang akan kuceritakan nanti,…”
“Balai itulah cahaya benderang satu-satunya di
belahan hitam hutan Kalimantan Selatan yang sebenarnya tak lagi perawan. Sebuah
kampung kecil, yang malam itu menghelat upacara ritual untuk si sakit.”
”Orang sekampung tidak pernah melupakan malam
itu.”
c. Latar Sosial
Latar sosial dalam Cerpen Perempuan Balian Karya Sandi Firly ialah di sebuah perkampungan
kecil dekat gunung di hutan Kalimantan Selatan yang masih percaya tahayul.
“…atau hanya mengandalkan terang langit di atas
jalan yang membelah hutan pegunungan Meratus”
“Balai itulah cahaya benderang satu-satunya di
belahan hitam hutan Kalimantan Selatan yang sebenarnya tak lagi perawan Sebuah
kampung kecil, yang malam itu menghelat upacara ritual untuk si sakit”
“Kalian lihat saja nanti, hutan dan kampung kita
ini nantinya akan ditimpa bencana. Dan itu karena perempuan gila yang hendak
menjadi balian.”...”
Pembahasan terhadap cerpen Perempuan Balian karya Sandi Firly melalui psikologi sastra ialah
dengan id, ego, dan superego.
1.
Id
Id
tergambar dari pikiran-pikiran liar seseorang yang berasal dari alam bawah
sadar atau bisa dikatakan id adalah dorangan-dorongan yang bersifat biologis,
lebih singkatnya keinginan seserorang.
Dalam cerpen Perempuan Balian
karya Sandi Firly juga terdapat id.
a. Tokoh ‘aku’ yang
ingin meninggalkan kampung tempat upacara balian dan pada saat itu latarnya di
warung.
“Aku melakukan hirupan terakhir kopiku sebelum bersiap
pergi meninggalkan warung.”
b.
Seorang perempuan muda (idang), keinginan untuk
diperhatikan dan diterima dalam masyarakat, tetapi kerena dia telah diaanggap
pembawa sial, maka masyarakat menjahuinya, sehingga dia menceritakan hal-hal
mistis sekedar menunjukkan bahwa dia juga punya teman. Akan tetapi hal itu yang
membuat masyarakat beranggapan kalau dia kurang waras.
“Kepada orang-orang ia sering mengatakan, ”Ada ular-ular
besar menyusup dalam mimpiku. Ular itu bukan mimpi, tapi ular yang menyusup
dalam mimpiku. Dalam mimpi juga aku sering bertemu Ayah.””
”Aku banyak menemukan makhluk-makhluk aneh di
sana. Mereka bersahabat,” ceritanya kepada teman-teman sebaya, yang karena
cerita semacam itu pula menyebabkan ia perlahan-lahan dijauhi teman-temannya.
Namun ia mengaku tak pernah merasa kesepian. ”Teman-temanku di dunia lain jauh
lebih banyak,” seseorang bercerita kepadaku menirukan ucapannya.
c.
Damang Itat/lelaki tua, tidak terima akan kehadiran idang
atau balian perempuan yang berhasil menyembuhkan penyakit orang, padahal dia
sudah susah peyah mengobati orang tersebut. Maka dia ingin menyingkirkan idang
perempuan muda tersebut dengan mempropokasi masyarakat.
“”Ini menyalahi adat. Tidak pernah ada seorang perempuan,
apalagi perempuan itu dianggap gila, bisa menjadi seorang balian. Ini alamat
mendatangkan bencana,” ucap seorang lelaki tua di warung kepada dua lelaki yang
lebih muda.”
d.
Seorang ibu muda yang ingin mengobati anaknya dari
penyakit hingga dia rela menunggu lamanya pengbatan atau upacara walaupun itu
berhari-hari.
“Seorang ibu muda yang telah kehabisan air mata terduduk
lemas di sudut belakang balai. Kantung matanya menebal, rambut terbiarkan
tergerai kusut berhari-hari tak tersisir tangan dan dilembutkan minyak jelantah. Ialah ibu si anak yang kini nyawanya tengah di awang-awang dalam
pertolongan para balian yang terus menari dan merapalkan mantra-mantra.”
2. Ego
Ego menghasilkan
perilaku yang didasarkan atas prinsip kenyataan. Prinsip kenyataan adalah
mencari objek yang tepat untuk mereduksikan tegangan yang timbul dalam
organisme. Ego dipandang sebagai aspek
eksekutif atau pengelolaan kepribadian. Bisa dikatakan ego adalah suatu
perbuatan yang tampak.
a.
Tokoh ‘aku’ meninggalkan kampung, kerana alasannya pergi
ke kampung itu sudah terpenuhi.
“Aku melakukan hirupan terakhir
kopiku sebelum bersiap pergi meninggalkan warung. Aku harus segera memulai
perjalanan sebelum matahari meninggi”
“Selama perjalanan meninggalkan
kampung di pinggiran hutan pegunungan Meratus itu,...”
b.
Seorang perempuan muda (idang), karena ingin diperhatikan
perempuan muda itu membuat ulah-ulah sehingga membuat orang melihatnya, dan
sekedar menunjukkan kalau dia punya teman di hutan, maka dia selalu pergi ke
hutan.
“Kerap mengamuk kesurupan, dan meracau
menceritakan tentang mimpi-mimpinya yang aneh.”
“Idang memang tak seperti kebanyakan perempuan
lainnya yang hidup di pegunungan Meratus. Ia suka memanjat pohon, hal yang
hanya pantas dan perlu kekuatan seperti dimiliki anak laki-laki. Ia juga kerap
melakukan perjalanan sendiri ke hutan-hutan terdalam, hutan-hutan terlarang.”
c.
Damang Itat/lelaki tua, karena ingin menyingkirkan idang
perempuan muda, damang Itat mempropokasi masyarakat dengan melontarkan ancaman
atau bencana yang akan diterima kampung.
“Dengan wajah agak memerah, orang
tua itu berucap, ”Kalian anak muda ini, tahu apa kalian tentang balian. Kalian
lihat saja nanti, hutan dan kampung kita ini nantinya akan ditimpa bencana. Dan
itu karena perempuan gila yang hendak menjadi balian.””
d.
Seorang ibu muda, karena ingin menyembuhkan anaknya yang
sedang sakit, ibu muda itu rela menunggu berhari-hari walau badannya tidak
sanggup lagi menahannya.
“Seorang ibu muda yang telah
kehabisan air mata terduduk lemas di sudut belakang balai. Kantung matanya menebal,
rambut terbiarkan tergerai kusut berhari-hari tak tersisir tangan dan
dilembutkan minyak jelantah. Ialah ibu si anak yang kini nyawanya tengah di
awang-awang dalam pertolongan para balian yang terus menari dan merapalkan
mantra-mantra. Kepala perempuan itu terkulai miring ke kiri bersandar pada bahu
seorang ibu yang menjaganya.”
3.
Superego
Superego merupakan kesempurnaan dari kesenangan karena
superego dapat pula dianggap sebagai aspek moral kepribadian. Fungsinya
menentukan apakah sesuatu itu benar atau salah, dan pantas atau tidak
dilakukan. Superego juga dapat dikatakan sebagai pengontrol (nilai agama,
sosial, dan lain-lain)
a.
Tokoh ‘aku’, lebih memilih diam ketika terjadi
pembicaraan yang dia dengar di warung,
karena dia merasa perbincangan tersebut tidak akan mempengaruhi hasil
penelitiannya.
“Aku melakukan hirupan terakhir
kopiku sebelum bersiap pergi meninggalkan warung. Aku harus segera memulai
perjalanan sebelum matahari meninggi. Tugasku selama dua minggu melakukan
penelitian, termasuk menyaksikan upacara balian, sudah berakhir.”
b.
Seorang perempuan muda (idang), dia memilih masuk secara
tiba-tiba ke dalam acara balian sebagai idang dan berhasil mengobati anak yang
sakit parah.
“Seorang perempuan muda tiba-tiba
menghambur ke tengah upacara, menari-menari. Mulutnya merapal mantra-mantra
yang tak pernah terbaca oleh balian mana pun juga, dengan diiringi denting
gelang di kedua tangannya”
“Tapi malam itu, Idang, seorang perempuan muda
yang dianggap gila, menyeruak ke tengah-tengah upacara. Menari-nari, menyanyi,
merapalkan mantra-mantra yang sebelumnya tidak pernah dibaca para balian.”
c.
Damang Itat/lelaki tua, dia lebih memilih pergi ketika
apa yang dia katakan tidak diubris oleh masyarakat.
“Setelah membayar kopinya, lelaki tua itu pun
pergi meninggalkan warung sambil menggerutu, ”Celaka… celaka… celaka.””
d.
Seorang ibu
muda, dia telah siap akan apa yang akan terjadi terhadap apa yang akan menimpa
anaknya.
“Walau jauh di lubuk hati, ia sebenarnya telah
mulai memupuk kerelaan bila sewaktu-waktu sang anak diambil sang ilah”
Dalam cerpen Perempuan
Balian karya Sandi Firly memperlihatkan sifat seseorang yang ingin diterima
dan diperhatikan, keteguhan orang tua kepada anaknya, sifat seseorang yang tersingkir dari profesinya,
dan sifat seseorang tidak mau ikut capur terhadap permasalahan orang lain.
1.
Sifat seseorang yang ingin diterima dan diperhatikan,
yaitu tokoh perempuan muda yang menceritakan hal-hal mistis, mempunyai teman
yang banyak, dan berprilaku yang membuat orang melihatnya. Hingga akhirnya dia
membuktikan apa yang dia bicarakan selama ini betul-betul adanya dan berhasil
mengobati orang, walaupun dengan cara tiba-tiba.
“...Idang dikenal sebagai perempuan kurang waras.
Kerap mengamuk kesurupan, dan meracau menceritakan tentang mimpi-mimpinya yang
aneh. Kepada orang-orang ia sering mengatakan, ”Ada ular-ular besar menyusup
dalam mimpiku. Ular itu bukan mimpi, tapi ular yang menyusup dalam mimpiku.
Dalam mimpi juga aku sering bertemu Ayah.””
“Seorang perempuan muda tiba-tiba
menghambur ke tengah upacara, menari-menari. Mulutnya merapal mantra-mantra
yang tak pernah terbaca oleh balian mana pun juga, dengan diiringi denting
gelang di kedua tangannya”
“Tapi malam itu, Idang, seorang perempuan muda
yang dianggap gila, menyeruak ke tengah-tengah upacara. Menari-nari, menyanyi,
merapalkan mantra-mantra yang sebelumnya tidak pernah dibaca para balian.”
2.
Keteguhan orang tua kepada anaknya, yaitu keteguhan hati
orang tua yang selalu menunggu pengobatan anaknya sampai sembuh walau badannya
sudah lemas dan tak terurus.
“Seorang ibu muda yang telah
kehabisan air mata terduduk lemas di sudut belakang balai. Kantung matanya
menebal, rambut terbiarkan tergerai kusut berhari-hari tak tersisir tangan dan
dilembutkan minyak jelantah. Ialah ibu si anak yang kini nyawanya tengah di
awang-awang dalam pertolongan para balian yang terus menari dan merapalkan
mantra-mantra. Kepala perempuan itu terkulai miring ke kiri bersandar pada bahu
seorang ibu yang menjaganya.”
3.
Sifat seseorang yang tersingkir dari profesinya, yaitu
tokoh Damang Itat/orang tua yang berusaha mempengaruhi masyarakat agar
perempuan muda sebagai idang yang balian pada malam sebelumnya dan berhasil
menyembuhkan anak yang sudah sakit parah, tidak dipakai untuk kesekian kalinya.
““Ini menyalahi adat. Tidak pernah
ada seorang perempuan, apalagi perempuan itu dianggap gila, bisa menjadi
seorang balian. Ini alamat mendatangkan bencana,” ucap seorang lelaki tua di
warung kepada dua lelaki yang lebih muda.”
“Dengan wajah agak memerah, orang
tua itu berucap, ”Kalian anak muda ini, tahu apa kalian tentang balian. Kalian
lihat saja nanti, hutan dan kampung kita ini nantinya akan ditimpa bencana. Dan
itu karena perempuan gila yang hendak menjadi balian.” Setelah membayar
kopinya, lelaki tua itu pun pergi meninggalkan warung sambil menggerutu,
”Celaka… celaka… celaka.””
4.
Sifat seseorang tidak mau ikut capur terhadap
permasalahan orang lain, yaitu tokoh ‘aku’ yang tidak memperdulikan
perbincangan orang-orang pergi meninggalkan kampung setelah urusannya selesai.
Dia hanya perduli akan penelitian yang baru saja dia selesaikan yaitu mencari
tempat dimana terdapat emas dan akan dilaporkan kepada perusahaan besar.
“Aku melakukan hirupan terakhir kopiku sebelum
bersiap pergi meninggalkan warung. Aku harus segera memulai perjalanan sebelum
matahari meninggi. Tugasku selama dua minggu melakukan penelitian, termasuk
menyaksikan upacara balian, sudah berakhir.”
“Entah, makna apa yang harus aku pahami. Namun aku
tahu, sebentar lagi hutan tak jauh dari kampung itu akan dibongkar oleh sebuah
perusahaan besar untuk mengeruk emas hitam dari perutnya.”
G.
Kesimpulan
Beberapa tokoh muncul dalam cerpen Perempuan Balian karya Sandi Firly. Namun tidak semua tokoh
digambarkan aspek Psikologinya. Tokoh yang wataknya diungkapkan ada 4 tokoh
yaitu ‘Aku’, seorang perempuan muda (idang), Damang Itat/lelaki tua, seorang
ibu muda. Peristiwa ini merupakan gambaran dari proses penyelesaian konflik,
dimana karakter aku tidak mampu untuk mengetahui maksud dari perkataan lelaki
tua bahwa akan datang bencana pada hutan, padahal dia tahu hutan tersebut akan
dijadikan tambang emas.
Struktur kepribadian tokoh dalam cerpen Perempuan Balian karya Sandi Firly
memiliki tiga unsur, yaitu id, ego, dan superego. Ketiga unsur dari struktur
kepribadian tersebut memengaruhi tingkah laku, pola pikir, dan kejiwaan para
tokoh utama dalam cerpen Perempuan Balian
karya Sandi Firly. Dari analisis psikologi di atas, dapat diketahui bahwa para
tokoh memiliki id yang kuat. Mereka cenderung ingin melepaskan diri dari segala
permasalahannya yang mereka rasakan dalam hidup tanpa melihat realita yang ada.
Mekanisme pertahanan ego ditemukan dalam cerpen Perempuan Balian karya Sandi Firly, meskipun usaha mereka berhasil.
Pada superego, tokoh telah memilih berdasarkan pertimbangannya untuk melakukan
suatu hal.
Daftar Pustaka
Aminuddin. 1990. Kajian Tekstual dalam
Psikologi Sastra. Sekitar Masalah Sastra. Beberapa Prinsip dan Model
Pengembangannya. Malang: Yayasan Asah Asih Asuh Malang.
Endraswara,Suwardi. 2008. Metode
Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo.
Muhardi dan Hasannuddin. 1992. Prosedur Analisis Fiksi. Padang: IKIP
Padang Press.
Ramdhansyah. 2011. Paham dan Terampil Berbahasa dan Bersastra Indonesia.
Bandung: Dian Aksara Press.
Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitiann Sastra. Bandung: Penerbit ANGKASA.
Suryabrata, Sumadi. 2012. Psikologi
Kepribadian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Firly, Sandi. 2012. Perempuan Balian. Kompas. (https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/06/24/perempuan-balian/#more-1603)
Diunduh pada 10 Desember 2014.